Perjuangan penolakan tambang masyarakat Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, yang telah berlangsung selama dua tahun terakhir, membuat PT Gema Kreasi Perdana (GKP) memutuskan berhenti sementara. Pemberhentian sementara itu, merupakan kabar baik bagi masyarakat Pulau Wawonii, dan mestinya menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk menindaktegas seluruh tindak kejahatan PT GKP selama beraktivitas di Pulau Wawonii.

Sebagaimana diketahui, anak perusahaan Harita Group itu, telah melakukan sejumlah tindak kejahatan, mulai dari: Pertama, penyerobotan lahan yang dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali, yakni pada Selasa, 9 Juli 2019, sekitar Pkl. 11.00 Wita di lahan milik Ibu Marwah; Selasa, 16 Juli 2019, sekitar Pkl. 15.00 Wita di lahan milik Bapak Idris, dan terakhir 22 Agustus tengah malam di lahan milik Pak Amin, Bu Wa Ana, dan Pak Labaa.

Penyerobotan lahan itu berakibat pada perusakan tanaman warga, mulai dari kelapa, jambu mete, kakao, pisang, dan sejenisnya.

Kedua, kriminalisasi 27 warga penolak tambang Wawonii, dengan melaporkan kepada polisi. Tuduhan yang dialamatkan kepada para warga tersebut pun mengada-ada, mulai dari dugaan menghalang-halangi aktivitas tambang, dugaan tindak pidana perampasan kemerdekaan terhadap seseorang, dugaan tindak pidana penganiayaan, dan dugaan tindak pidana pengancaman. Padahal, warga hanya sekadar mempertahankan tanah miliknya dari upaya penerobosan pihak perushaan.

Parahnya, pihak kepolisian terkesan memihak PT GKP, hal ini terlihat dari: (1) laporan warga atas nama Idris ke Polres Kendari pada 14 Agustus 2019 terkait penerobosan lahan miliknya pada 16 Juli 2019 tak kunjung diproses. Sebaliknya, Idris justru dilaporkan pihak  PT GKP ke Polres Kendari, sudah ditetapkan sebagai tersangka, dan kini statusnya sudah menajdi terdakwa, dan (2) laporan warga atas nama Labaa, Amin, dan Waana terkait pengrusakan tanaman dan penyerobotan lahan oleh PT GKP pada 22 Agustus 2019 yang berlangsung tengah malam, juga telah dilaporkan ke Polda Sultra pada 30 Agustus dan 1 September 2019 lalu.

Kedua laporan di atas mengendap begitu saja, tanpa ada tanda-tanda untuk ditindaklanjuti. Hal ini diduga kuat bahwa pihak kepolisian justru sedang terlibat dalam skema permainan PT GKP, memaksa penerobosan lahan milik masyarakat untuk memuluskan niat jahatnya dalam menambang nikel di perut pulau Wawonii.

Ketiga, keberadaan tambang PT GKP di pulau Wawonii, termasuk perusahaan tambang lainnya, diduga illegal, sebab, Wawonii adalah pulau kecil yang luasnya hanya 708,32km2. Berdasarkan ketentuan UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, peruntukannya bukan untuk kegiatan pertambangan.

Bahkan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Privinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Konawe Kepulauan, serta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Sultra, peruntukkan pulau Wawonii tidak untuk pertambangan.

Keempat, terminal khusus (tersus) milik PT GKP yang berlokasi di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara. Keberadaan tersus ini juga tidak mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara, sebab, lokasi yang digunakan dalam membangun tersus ini, seharusnya untuk pemanfaatan umum peruntukan kegiatan perikanan tangkap. Diduga, pembangunan tersus ini tanpa mengantongi izin lingkungan.

Kelima, Konflik sosial yang berkepanjangan antara mayoritas masyarakat menolak tambang dengan segelintir warga yang pro terhadap perusahaan. Konflik ini terjadi di keluarga, kampung, antar desa, dan  berujung pada relasi sosial yang telah lama terjalin baik, kini hancur lebur akibat kehadiran PT GKP.

Kini, PT GKP memutuskan berhenti sementara dari seluruh aktivitasnya di Pulau Wawonii. Momentum ini menjadi penting dimanfaatkan pemerintah dan penegak hukum mengusut tuntas dan melakukan penegakan hokum yang tegas dan terbuka.

Untuk itu, kami menuntut:

  1. Menuntut Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi untuk mencabut permanen Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT GKP, dan seluruh IUP lainnya di Pulau Wawonii atau Pulau Konawe Kepulauan.
  2. Menuntut Menteri LHK, Menteri KKP, Ketua Ombudsman RI, Komnas HAM, dan Gubernur Sultra, seluruh kejahatan anak perusahaan Harita Group itu, lalu lakukan penegakan hukum yang tegas dan terbuka.
  3. Menyegel terminal khusus (tersus) PT GKP yang dibangun tidak sesuai peruntukan ruang, dan tidak mengantongi izin lingkungan.
  4. Menuntut Polda Sultra dan Polres Kendari untuk menghentikan seluruh proses hukum bagi 27 warga Wawonii, bebaskan mereka dari seluruh tuntutan hukum, serta pulihkan nama baik terlapor dan keluarga. Sebaliknya, Polisi harus segera mengusut dan menindalanjuti 2 (dua) laporan warga terkait penerobosan lahan yang dilakukan PT GKP.
  5. Mendesak Bupati Konawe Kepulauan dan Gubernur Sultra untuk segera memulihkan konflik sosial yang terjadi selama ini, yang dipicu oleh kehadiran PT GKP.

 

Narahubung:

Labaa – Warga Wawonii, Pemilik Lahan – 085242430458

Melky Nahar – JATAM – 081319789181

Muh Jamil – JATAM – 082156470477

Edy Kurniawan – LBH Makassar – 085395122233