Pada Senin, 26 Agustus 2019 lalu, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi kembali melontarkan pernyataan kontroversial terkait polemik tambang di Kabupaten Konawe Kepulauan atau Pulau Wawonii.

“IUP di Konkep tidak bermasalah, itu sudah benar, karena sesuai dengan aturan yang ada, jadi janganlah didemo terus,” ungkap Ali Mazi, sebagaimana dikutip okesultra.com pada 26 Agustus 2019.

Pernyataan Ali Mazi di atas tampak menunjukkan ketidaktahuan dan atau tidak mau tahu soal duduk perkara polemik tambang di Pulau Wawonii, terutama terkait aturan dan regulasi, berikut alasan mendasar di balik perlawanan masyarakat yang gencar dilakukan.

Keberadaan tambang di pulau kecil Wawonii, itu jelas melanggar Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No 27 Tahun 2007, dimana pertambangan bukan pilihan pembangunan di wilayah dengan daya dukung dan ekosistem yang khas seperti pulau kecil itu.

Selain itu, keberadaan tambang di Pulau Wawinii juga melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Konawe Kepulauan yang sedang berlaku, juga melanggar Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Sulawesi Tenggara itu sendiri.

Bahkan, sejak awal kehadiran tambang telah mendapat penolakan dari masyarakat, terutama para pemilik lahan. Artinya, pemerintah daerah, terutama Bupati Konawe selaku pemberi izin saat itu, tampak tidak secara terbuka, menanyakan dan meminta persetujuan masyarakat setempat, sebagaimana amanat Undang-Undang Mineral dan Batubara No 4 Tahu 2009.

Selain itu, konflik yang kian besar di Pulau Wawonii akibat penerobosan lahan milik warga oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP), adalah terkait rencana pembagunan jalan tambang pihak perusahaan itu sendiri. Lahan-lahan itu adalah milik sah warga, telah dikelola lebih dari 30 tahun. Dan, para pemilik lahan sejak awal tidak pernah setuju dan atau mau memberikan lahannya kepada perusahaan tambang. Artinya, penerobosan itu tindakan kejahatan (pidana) yang semestinya harus diproses oleh para penegak hukum.

Dengan demikian, kehadiran perusahaan tambang di Pulau Wawonii tampak atas kehendak pribadi Gubernur Sultra, Ali Mazi, termasuk Bupati Konawe Lukman Abunawas saat itu, selaku pemberi izin tambang, yang berlangsung dalam ruang tertutup.

Lebih dari pada itu, pernyataan Ali Mazi di atas, tersirat makna soal posisi Ali Mazi yang tampak lebih memilih berpihak ke perusahaan tambang, setelah sebelumnya secara terbuka dan tak tahu malu, membantah jika telah terjadi penerobosan lahan milik masyarakat oleh PT GKP.

Padahal, fakta lapangan menunjukkan, PT GKP telah berulangkali melakukan penerobosan lahan milik warga; pertama, pada Selasa, 9 Juli 2019, kedua, Selasa, 16 Juli 2019, dan ketiga, pada 22 Agustus tengah malam, kemarin.

Selain menerobos lahan, PT GKP juga telah melaporkan sebanyak 20 orang masyarakat Pulau Wawonii, mulai dari petani – pemilik lahan hingga aktivis mahasiswa yang getol berjuang, menolak kehadiran tambang di pulau Wawonii. Dilaporkannya puluhan warga ini diduga sebagai upaya menakut-nakuti, menekan resistensi masyarakat, apalagi dalam penerobosan lahan-lahan warga sebelumnya, polisi kerap kali mengkawal PT GKP.

Ali Mazi juga tampak gagap dan tidak mau tahu, bahwa betapa Pulau Wawonii itu sangat subur, dimana mayortias masyarakat bergantung pada sektor pertanian – perkebunan, dan perikanan dan kelautan.

“Investasi di daerah itu sangat diperlukan. Kita harusnya bersyukur dengan masuknya investor, sebab bisa membuka lapangan kerja dan bisa meningkatkan pendapatan daerah, tapi kalau di Konkep ribut terus, demo terus hingga menutup investasi, mending kembali saja daerah itu jadi kecamatan,” kata Ali Mazi.

Pernyataan ini, mengabaikan fakta bahwa mayoritas masyarakat Pulau Wawonii itu bekerja dan menggantungkan kehidupannya dari sektor pertanian dan perkebunan, sebagian lagi nelayan. Artinya, kehadiran tambang, berikut lahan-lahan masyarakat diterobos dan dikonversi menjadi area pertambangan, maka, bukan saja menghancurkan lahan-lahan produktif masyarakat sebagai satu-satunya sumber penghidupan, tetapi juga akan menghilangkan pekerjaan bagi sebagian besar masarakat di Pulau Wawonii itu sendiri.

Lalu, darimana logikanya Ali Mazi meminta masyarakat untuk bersyukur karena masuknya investor? Bukankah dengan masuknya perusahaan tambang justru membawa malapetaka bagi rakyat, termasuk bagi anak cucunya kelak?

Di titik ini, bisa disimpulkan, di balik ngotot dan asal bicaranya Ali Mazi, termasuk mantan Bupati Konawe Lukman Abunawas (kini menjadi Wagub Sultra), terselip kepentingan besar antara elit lokal ini dengan perusahaan tambang.

Patut diduga, PT GKP yang dipaksa masuk ke Pulau Wawonii, menerobos lahan-lahan milik masyarakat, sesungguhnya sedang menggambarkan soal praktik ijon politik antara gubernur dan wakil gubernur Sultra dengan perusahaan tambang. Jadi, setelah Ali Mazi dan Lukman Abunawas terpilih, kini saatnya untuk membalas jasa, salah satunya kepada penyandang dana seperti perusahaan tambang ini.