Pengantar
 
Catatan ini dibuat Siti Maimunah yang mewakili JATAM dan TKPT mengikuti COP 26 di Glasgow. Mai, adalah mahasiswa S3 Universitas Passau Jerman dan juga fellow WEGO-ITN, Marie Sklodowska Curie yang saat ini menjabat Badan Pengurus JATAM dan pendiri TKPT. Ia memaparkan kesaksiannya secara berkala selama mengikuti COP26 dengan kaca mata yang berbeda.
 
Hari Kedua – 2 November 2021

Baca Catatan Hari Pertama, 1 November: Febi dan Para Penyangkal Iklim


COP yang paling “White” &  paling “dipantau”?

Hari kedua, 2 November 2021, saya belum bisa masuk ke zona biru meskipun statusnya terakreditasi, sebab saya belum melakukan tes harian COVID-19 dan harus mendapat konfirmasi dari Natioanal Health Service (NHS) melalui email bahwa saya tidak terinfeksi. Bukti ini bersama keterangan akreditasi adalah tiket masuk ke zona biru. Tiap yang masuk zona biru harus melakukannya tiap hari dan bisa melakukan sendiri, gratis. Ini tentu tak terhindarkan untuk memastikan pesertanya bebas COVID-19. Saya membayangkan berapa “ongkos” lingkungan perhelatan COP26 ini di masa pandemik. Jika di awal, UNFCCC mengumumkan ada 22 ribu delegasi (parties), 14 ribu pengamat (observers) dan 4000 jurnalis terergistrasi, maka ada 40 ribu dikalikan 12 alat tes COVID-19 selama COP berlangsung yang sebagian besar berbahan plastik akan jadi sampah. Belum termasuk masker dan PCR mingguan yang diwajibkan bagi mereka yang ikut acara. Itu hanya dari alat tes yang berkaitan dengan COVID-19.

Di bawah situasi pandemik, COP26 sepertinya jadi KTT iklim yang paling ketat pantauannya (surveillance) dibanding lainnya. Ini yang mungkin juga menjadi penyebab partisipan dari negara-negara selatan berkurang. Salah satunya karena urusan vaksin dan keamanan selama perjalanan. Contohnya Indonesia, jumlah masyarakat sipil yang datang ke COP sepertinya berkurang drastis. Meski begitu salah seorang jurnalis menyampaikan kepada saya delegasi resmi Indonesia jumpahnya mencapai 600an orang.

Pemerintah Inggris mengklaim kali ini merupakan COP paling inklusif karena menawarkan vaksin dan tes COVID-19 gratis. Tapi banyak yang mengeluhkan justru administrasi pengurusan visa dan status bebas vaksin membuat berkurangnya delegasi negara-negara selatan. Meskipun belum ada yang mempertanyakan keabsahannya,  COP kali ini ada yang menyebut sebagai “COP paling putih” sebagai kritik atas dominasi negara-negara utara (kulit putih) dalam mengakses CO26.

Gobang, salah satu wakil WALHI/ FoE Indonesia yang datang ke COP26 juga bercerita dia diundang menghadiri aksi solidaritas anak anak muda Belgia bersama 11.11.11 yang  membuat protes karena kurangnya keterwakilan dari teman-teman mereka, pembungkaman dan tidak didengarnya suara anak-anak muda dari negara-negara selatan di kegiatan dan ruang-ruang negosiasi COP26. Mereka menaruh kursi kosong dan menaruh nama-nama teman mereka yang tak berhasil datang ke Glasgow.

Bisa datang ke COP26 saja sulit, namun berhasil belum tentu bisa masuk ke forum-forum negosiasi resmi tahunan UNFCCC, sebuah badan di bawah PBB yang menangani dampak perubahan iklim ini. Apalagi di bagian zona birunya (blue zone) hanya bisa dimasuki oleh mereka yang terakreditasi. Itu pun belum tentu mereka bisa melakukan intervensi jika tidak mewakili grup-grup tertentu yang sudah memiliki slot dalam ritual tahunan Conference of Parties (COP). Tempat pertemuan atau venu COP 26 di Glasgow juga sepertinya dipilih juga mempertimbangkan mengurangi kerumanan besar orang yang tidak bisa dikontrol.  Tempat ini agak terpencil. Ada dua zona yang disediakan UNFCCC, hijau dan biru yang di belah oleh sungai Clyde. Zona hijau bisa diakses publik isinya kegiatan di luar negosisasi resmi. Keduanya dihubungkan oleh jembatan.

Jalur diantara zona hijau dan biru merupakan arena protes berbagai macam kelompok, yang terkadang penuh dengan polisi berseragam gelap saat jumlah titik protes bertambah sehingga menutup jembatan. Seperti saat aksi Extention Rebelion (ER) sore itu di jembatan. Aksi yang penuh musik dan teriakan itu dikepung polisi sehingga demonstran tak bisa bergerak. Jika diambil gambarnya terlihat seolah polisi yang justru melakukan unjuk rasa. Polisi yang didatangkan dari berbagai wilayah di Inggris ini sepertinya sangat kuatir dengan aksi ER yang selama ini sering membuat mereka kewalahan.

Arena aksi diantara zona ini menarik diamati. Ada yang aksi sendirian, ada yang ramai-ramai.  Unjuk rasanya ada yang serius tak sedikit yang lucu dan kadang seperti tak ada hubungannya dengan isu perubahan iklim.

Saya bertemu Lucy Rogers, seorang pelukis independen yang merekam, yang memiliki kepedulian terhadap problem sosial perkotaan yang sedang menggambar peristiwa-peristiwa di luar pagar zona biru dengan cat air.   

Saya melihat sekelompok aktivis dari Bolivia yang melakukan protes dengan banner.

“The President of Bolivia is lying to the world right now Bolivia is burning mother earth is in ashes”.

Saya jadi ingat para pemimpin Amerika Latin yang dijuluki Pink Tide, yang semua memberikan harapan bagi penyelamatan bumi, namun masih sulit percaya bahwa ekstraktivisme bukanlah jawaban untuk transisi menuju ekonomi yang lebih berdaulat. Akhirnya Evo Morales dan Rafael Correa – Presiden Biolivia dan Ecuador kala itu kembali memilih ekstraksi tambang dan migas sebagai penopang ekonomi yang sempat membelah kekuatan para pendukungnya.

Saya juga bertemu Jhon dan Anna, kakek dan nenek dari Cumbria yang berada di perbatasan antara negara bagian Scotland dan England. Mereka membawa banner putih besar dengan simbol stop Coal dan tulisan besar:

“Say No to West Cumbria Mining, say yes to Green Jobs”.

Warga  propinsi Cumbria yang berhasil menyetop tambang batubara, dan kini kembali melakukan perlawanan terhadap tambang batubara baru yang akan masuk lagi ke provinsi meraka. “Mereka beralasan batubaranya sangat bagus untuk baja, tapi kami tahu 30 persen saja yang bagus sebenarnya, jadi tidak perlu ada tambang”, ujar Anna, saat saya bercakap dengannya. Mereka terlihat sangat bersemangat dan saya merasa mendapatkan energi baru. Saya menerenungkan cerita Anna tentang batubara yang kualitasnya buruk akan diekspor. Saya ingat di Indonesia justru sebaliknya, yang kotor dipakai untuk pembangkit dalam negeri sementara yang kualitas pencemarannya lebih rendah diekspor, seperti batubara yang dikeruk dari bumi Kalimantan yang diekspor, sementara batubara kualitas buruk dibakar lewat pembangkit listrik mulut tambang batubara di Sumatera Selatan.

Saya juga melihat aksi-aksi yang membuat saya berpikir keras apa hubungannya dengan perubahan iklim. Misalnya aksi para penganut Falun Gong, yang menyerukan agar China menghentikan panen organ manusia. Mereka, laki-laki dan berjejer melakukan meditasi di trotoar di depan pagar menuju blue zone.

Ada juga yang satir. Satu perempuan dan laki-laki memegang kain putih dengan tulisan yang bunyinya kira-kira: UFO akan segera datang ke Glasgow tetapi alien tidak akan bisa menyelamatkan planet.

Saya merasa ruang diantara zona biru dan hijau inilah yang paling hidup, zona harapan.

Meskipun melelahkan pada hari kedua ini saya dapat gambaran bagaimana menjangkau venue di COP 26 dan merasakan bagaimana COP “warna putih” ini. Namun, sebelum meninggalkan Glasgow malam ini, sesaat baru keluar dari zona biru untuk menemui Andrew – teman dari LMN, kami berdua didatangi dua orang Polisi Scotland yang sedang menyamar sipil. Keduanya masih muda, yang satu berkaca mata. Mereka menunjukkan kartu identitasnya dan menggiring kami ke trotoar. Kami diinterogasi sekitar 15-20 menitan. Ditanya ngapain aja di Glasgow,  tinggal dimana, siapa yang diwakili, apa hubungannya dengan Extention Rebellion, dan lainnya. Ada apa ini?

Bersambung…