Pengantar
Catatan ini dibuat Siti Maimunah yang mewakili JATAM dan TKPT mengikuti COP 26 di Glasgow. Mai, adalah mahasiswa S3 Universitas Passau Jerman dan juga fellow WEGO-ITN, Marie Sklodowska Curie yang saat ini menjabat Badan Pengurus JATAM dan pendiri TKPT. Ia memaparkan kesaksiannya secara berkala selama mengikuti COP26 dengan kaca mata yang berbeda.
Hari ke-7
Pengadilan Rakyat: UNFCCC Terbukti Bersalah & Harus Segera Dibubarkan!
UNFCC is
- failure to address the root causes of Climate Change
- failure to address global social and economic injustices
- failure to come up with appropriate Climate Finance for planetary and social survival
- failure to create pathways to Just Transition
- failure to regulate corporations and avoid the corporate capture of UNFCCC process
- failure to recognise, promote and protect Rights of Nature
Hari masih gelap, angin gak kencang dan lebih dingin dari biasanya. Jam 7.30 pagi saya dan Andrew sudah berjalan ke stasiun Waverley, sekitar 20 menit dari penginapan di Edinburgh. Andrew bahkan tidak sempat sarapan dan tes COVID-19 harian. Ia berencana melakukannya di kereta. Saya sudah makin ahli melakukan pengambilan sampel sendiri, baik untuk rapid test maupun PCR, dan lebih tertib dari Andrew. Habis sholat subuh langsung lakukan tes.
Kami naik kereta dan berhenti di Queen Street stasiun lantas bergegas ke Glasgow Film Theater yang gedungnya kelihatan tua.
Ini hari paling penting sepanjang COP26 berlangsung di Glasgow. Hari pertama “People Summit for Climate Justice” semacam forum tandingan di luar skema resmi UNFCCC yang justru membawa aspirasi dari bawah (bottom-up). Penyelenggaranya adalah Koalisi COP26 yang merupakan koalisi kelompok dan individu masyarakat sipil berbasis di Inggris dan bekerja di seputar isu keadilan iklim. Mereka adalah Ornop, serikat buruh, organisasi komunitas, kelompok agama, kelompok pemuda, migran dan jaringan keadilan rasial. Mereka menyelenggarakan sekitar 200-an kegiatan baik online maupun off-line di pelosok kota Glasgow. Tempatnya mulai di gereja, di kampus, bioskop, balai kota dan lainnya. Sejak dibuka ada sekitar 20 ribu yang mendaftar baik online maupun offline, atau hibrid. Para peserta yang mengikuti pertemuan tatap muka harus menunjukkan info bebas COVID-19 harian yang dikirim oleh Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris setelah melaporkan hasil tesnya. Aturan ini tak bisa ditawar-tawar. Di dalam ruangan pun peserta harus mengenakan masker.
Jam 9 pagi kami sampai. Acara Sidang Rakyat sedang dipersiapkan oleh panitia. Saya mewakili JATAM akan menjadi salah satu pelapor Sidang Rakyat yang diselenggarakan oleh gabungan Masyarakat sipil dari berbagai dunia ini. “People and Nature vs The UNFCCC: A People’s Tribunal on the UNFCCC & corporations as complicit in crimes against humanity – Ecocide”, ini rakyat dan alam melawan lembaga khusus PBB yang mengurus perubahan iklim, UNFCCC.
Sidang ini sangat penting karena mampu memberikan gambaran umum tentang hasil kerja UNFCCC sejak COP1 di Berlin pada 1994 hingga COP 26 Glasgow dalam upaya menurunkan suhu bumi. Sidang ini menunjukan fakta penting tentang lambannya upaya menurunkan suhu bumi sebagai sesuatu yang disengaja.Pablo Solón mantan Duta Besar Bolivia untuk PBB sejak 2009 hingga 2011 memberikan pengantar dalam pembukaan sidang.
Solon mengungkapkan fakta penting tentang bagaimana komitmen dan usaha negara-negara untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (NDC’s) sama sekali tidak signifikan menurunkan suhu bumi hingga 1,5 derajad. Negara utara juga ingkar menyediakan kewajiban pendanaan dan alih teknologi bagi negara selatan. Tetapi menurut Solon yang pernah menjabat Kepala Negosiator Bolivia di masa kepemimpinan Presiden Evo Morales ini, justru pendanaan untuk anggaran militer di Amerika, Asia dan Oceania, Africa, Eropa dan Timur Tengah naik pesat sejak 2005/2006 hingga $500 juta dolar. Tak hanya itu, subsidi untuk pembongkaran dan pembakaran energi fosil justru naik pesat. Pengantar Solon dengan jelas membuktikan kegagalan UNFCCC dalam memimpin dunia menurunkan suhu bumi dan membiarkan korporasi menyandera negosiasi iklim.
Saya jadi ingat Indonesia dan anggaran Pertahahan dan Keamanannya yang terus naik. Anggaran Departemen Pertahanan dan Keamanan naik dari Rp 98 Trilyun pada 2019 menjadi Rp 131 Trilyun pada 2020, lantas menjadi Rp 128 Trilyun, yang akan naik menjadi 134 Trilyun tahun depan. Sementara anggaran Polri juga naik dari Rp 94,3 triliun pada 2019 menjadi Rp 104,7 Trilyun pada 2020, naik menjadi Rp 96,8 Trilyun pada 2021 sebelum diproyeksikan naik lagi menjadi Rp 111 Trilyun. Di waktu yang sama angka pembongkaran dan ekspor batubara juga terus naik. Pada 2019 ekstraksi batubara naik hingga 610 juta ton menjadi sekitar 557,4 juta ton pada 2020 dan diproyeksikan naik lagi pada 2021 menjadi 610 juta ton. Alih fungsi lahan dan hutan untuk proyek-proyek pembangunan dan infrastruktur skala raksasa juga naik. Masa-masa kenaikan anggaran belanja keamanan, ekstraksi batubara dan pembukaan lahan ini penting dianalisis mengingat tingginya angka kekerasan oleh polisi dan militer baik di kota-kota di Jawa hingga di wilayah-wilayah terpencil di Papua. Polisi bahkan melakukan kekerasan dan kriminalisasi terhadap mereka yang protes keluarnya UU Omnibus Law. Sementara militer perannay diperluas hingga mengurus food estate.
Indonesia jelas menggambarkan situasi-situasi yang disampaikan Solon.
Sidang Rakyat yang berlangsung hampir 4 jam ini meghadirkan enam orang juri yaitu Amb. Lumumba Di-Aping, mantan Kepala negosiator untuk G77/China, Katerina Anastasiou, Transform Europe, Samantha Hargreaves, Women African Alliance (via zoom), Vijay Prashad, Tricontinental: Institute for Social Research, Larry Lohmann, The Corner House, UK (via zoom). Sekitar 12 orang saksi dihadirkan oleh 6 orang pelapor yang menyampaikan enam gugatan kepada UNFCCC. Saya membawakan tuntutan kedua tentang kegagalan UNFCCC menjawab ketidakadilan sosial dan ekonomi global. Kesaksian untuk tuntukan kedua Ini diberikan oleh Mithika Mwenda, Executive Director Pan-Africa Climate Justice Alliance, Nick Buxton, Transnational Institute dan Mitzi Jonelle Tan, Fridays for Future Philippines.
Akhirnya para Juri memutuskan beberapa hal penting:
- Bahwa UNFCCC dibubarkan dalam bentuknya yang sekarang dan disusun kembali dari bawah ke atas.
- Bahwa Majelis Umum PBB harus membuka sesi khusus tentang “liberalisasi perdagangan” dan teknologi lain dari “pasar” dan dampak negatifnya terhadap pertanian – misalnya – dan caranya dalam menciptakan dan mereproduksi krisis.
- Bahwa negara-negara maju harus membiayai penuh tagihan untuk mengakhiri emisi karbon. Bahwa tax heaven ilegal – yang bernilai setidaknya $37 miliar – segera diambil alih untuk pembiayaan transisi iklim. Pengeluaran militer – sebesar $ 2 miliar selama beberapa dekade terakhir – harus dikonversi untuk pengeluaran rakyat.
- Bahwa Majelis Umum PBB merupakan sesi khusus tentang reparasi untuk perampasa. dan kerusakan akibat kolonial.
- Bahwa Dewan Hak Asasi Manusia PBB memimpin penyelidikan segera atas serangan terhadap para pembela lingkungan dan iklim.
- Bahwa Majelis Umum PBB segera mengadakan dengar pendapat tentang Deklarasi Universal Hak-Hak Alam.
UNFCC
- gagal mengatasi akar penyebab Perubahan Iklim
- gagal mengatasi ketidakadilan sosial dan ekonomi global
- gagal menghasilkan Pembiayaan Iklim yang tepat untuk kelangsungan hidup planet dan sosial
- gagal menciptakan landasan menuju Just Transition
- gagal mengatur perusahaan dan menghindari penangkapan perusahaan dari proses UNFCCC gagal mengakui, mempromosikan dan melindungi Hak Alam