Pengantar

Catatan ini dibuat Siti Maimunah yang mewakili JATAM dan TKPT mengikuti COP 26 di Glasgow. Mai, adalah mahasiswa S3 Universitas Passau Jerman dan juga fellow WEGO-ITN, Marie Sklodowska Curie yang saat ini menjabat Badan Pengurus JATAM dan pendiri TKPT. Ia memaparkan kesaksiannya secara berkala selama mengikuti COP26 dengan kaca mata yang berbeda.

Hari ke-10


Net Zero & Solusi Palsu Bencana Iklim

COP26 membuat Scotlandia berbenah, termasuk stasiun-stasiun keretanya. Di stasiun antara  Edinburg ke Glasgow kini dijumpai poster-poster kampanye Net zero, seperti:

Net zero Hero, Kereta-kereta listrik kami  telah memtong emisi karbon hingga 10 ribu ton per tahun.

5000 Gajah. Kami mengurangi  seluruh jejak karbon sebanyak 30 ribu ton. Itu setara dengan 5000 ekor gajah.

5 Juta Pohon. Kalian butuh menanam 5.138151  pohon jika mau menyamakan dengan dampak positif dari kereta listrik kami.

 (lihat gambar 1-3)

Awalnya saya tak terlalu memikirkan iklan-iklan itu meskipun gambar-gambarnya cukup menggangu. Iklan yang menyamakan jumlah emisi karbon dengan berat 30 paus biru, 5 ribu ekor gajah, 3 juta kertas ukuran A4 dan 5 juta pohon. Semua dikomodifikasi dalam satuan berat karbon, sungguh menyesatkan membungkus solusi iklim sebatas urusan molekul kimia. Iklan-iklan di stasiun ini membuat saya ingin mengulas tentang Net zero dan solusi palsu. Apalagi siang ini ada diskusi online yang diselenggarakan oleh COP26 Coalition, sebuah koalisi masyarakat sipil di Skotlandia dan global yang membuat tandingan pertemuan COP26.

Net zero adalah istilah baru solusi menghadapi bencana iklim yang disepakati dalam Perjanjian Paris: Net zero  atau “emisi nol bersih” atau karbon netral. Ada beberapa lapis sesat pikir dalam logika Net zero. Pertama, seolah duduk perkara perubahan iklim adalah masalah molekul karbon, bukan sistem kapitalis yang menyejarah sepaket dengan logika kolonial yang terus dipraktekkan. Kedua, asumsi salah tentang emisi dari rantai ekstraksi fosil dapat ditukar oleh rantai karbon hutan atau di permukaan tanah sehingga menghasilkan karbon netral. Ketiga. Solusi-solusi yang ditawarkan mengarah kepada model bisnis spekulatif yang memperbesar pencemaran atmosfir bumi seperti Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Plus (REDD+), solusi Berbasis Alam, pertanian dan pemeliharaan ternak yang “cerdas iklim”, dan teknologi tangkap  dan simpan karbon (CCS).

Model bisnis spekulatif menjadi topik  dalam panel berjudul  “Dismantling Climate False Solutions” yang diadakan persekutuan perempuan “ReSisters Dialogue”. TKPT/Jatam adalah bagian dari persekutuan yang bekerja bersama komunitas khususnya perempuan di sekitar pertambangan di Asia Tenggara dan Asia Selatan.  Acara lewat daring ini dilakukan dalam dua sesi. Pertama adalah cerita dan pengalaman nyata di lapangan dari masyarakat korban tambang, para aktivis perempuan dan pembela hak asasi perempuan  tentang bagaimana proyek dan investasi dijajakan sebagai solusi perubahan iklim telah menyebabkan lebih banyak kerusakan di tanah, lingkungan, dan kekerasan terhadap perempuan pedesaan dan adat, keluarga mereka dan komunitas mereka. Kedua, tanggapan dari solidaritas global Eropa dan Afrika.

Di India dan Thailand, Snehlata Nath dari Keystone Foundation India dan Choosri Olakji dari Southern Peasant Federation of Thailand (SPFT) memaparkan bahwa atas nama perubahan iklim – solusi berbasis alam (nature base solution) diwujudkan melalui proyek konservasi hutan  yang justru menjadi instrumen pemerintah untuk mengambil alih hutan, dan menggusur masyarakat adat dan mereka yang secara langsung bergantung pada hutan untuk bertahan hidup. Hutan dilindungi untuk investasi skala besar seperti pertambangan dan perkebunan; sementara masyarakat terusir dari wilayah tradisional, rumah, dan sumber mata pencaharian mereka. Komunitas adat yang menjaga dan melindungi hutan sejak dahulu kala, para pemimpinnya ditangkap, ada yang dibunuh, dan dihilangkan, atas nama proyek pelestarian hutan. Solusi berbasis alam ini didukung dan dipromosikan oleh pemerintah dan korporasi.

Konsep ekonomi hijau adalah penipuan yang mematikan. Theresia Jari dari TKPT/ Jatam Kaltim mengkritisi pidato Presiden Indonesia di COP 26 tentang ekonomi hijau Indonesia yang bertumpu pada perluasan perkebunaan kelapa sawit, tambang dan pabrik nikel, Seng dan Mangan untuk baterai listrik dan pembangunan bendungan skala besar. Theresia yag lahir dan hidup di Kalimantan Timur menunjukkan bagaimana ekonomi hijau ini meneruskan model  ekonomi lama bergantung pada energi fosil, khususnya batubara dari kampung halamannya. Penambangan batubara telah mendatangkan begitu banyak malapetaka dalam kehidupan masyarakat adat dan masyarakat lokal. Para pemimpin adat yang telah berjuang untuk tanah mereka kerap jadi sasaran serangan kekerasan, rincian ini tidak ada pada pidato Presiden.

Emma Hotchkiss dari Baywatch Philipina mengingatkan agar transisi energi terbarukan seharusnya tidak cukup dengan mengganti bahan bakar fosil, tapi harus menurunkan permintaan energi dari negara-negara industri. Hal yang tidak ada dalam diskusi di antara para pemimpin dunia yang mempromosikan transisi energi terbarukan – kendaraan listrik, tenaga surya – adalah seberapa luas ektraksi mineral skala besar seperti tembaga, nikel, Seng dan Mangan dilakukan sepaket dengan dampaknya bisa dibenarkan atas nama transisi energi?

Di Burma, rezim militer berkomitmen meningkatkan lusa Kawasan Lindung hingga mencakup 10%  luasan lahan. Namun, Cindy Aung mengungkapkan wajah ganda rejim militer yang justru mendukung pertambangan dan pembangunan bendungan skala besar untuk pembangkit listrik yang merusak ekologi secara permanen. Dalam dekade terakhir angka hilangnya hutan di Burma naik. Siapa yang paling diuntungkan? Perusahaan yang terkait dengan militer menghasilkan miliaran dolar dari investasi sumber daya alam dan membuat rezim militer terus berkuasa. Mereka menyerang komunitas, pemimpin mereka, dan aktivis yang berjuang bersama mereka.

Resister Dialogue mengingatkan kita semua diujung diskusi. “Inilah yang kita dapatkan ketika pemerintah lebih suka mengandalkan dan menjalin kemitraan dengan pebisnis besar dalam solusi iklim yang salah. Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyadari bahwa solusi krisis iklim, bukanlah pada rezim militer Burma yang tidak sah, atau pemerintah otoriter yang menganggap rakyat sebagai hambatan dalam pembagian keuntungan mereka dengan perusahaan-perusahaan yang kotor. Mereka harus melihat bahwa perempuan adat,  pembela HAM (WHRD) dan komunitas sebagai mitra utama mengembangkan solusi sejati dan adil untuk krisis iklim”.

“Kami bukan pelaku pencemar atmosfer bumi, kami bukan penjahatnya. Bersama kami, dan gerakan akar rumputlah letak solusi iklim”