SIARAN PERS. Jakarta, 11 Oktober 2015 – Pada Minggu pagi di kawasan Car Free Day Jakarta, kelompok masyarakat sipil berkumpul untuk menyuarakan pilihannya akan energi terbarukan dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan ketergantungan terhadap energi kotor dan berbahaya. Kegiatan ini dilakukan sebagai bagian dari Hari Aksi Global untuk Transformasi Energi.

Dampak dari krisis iklim sudah nyata dirasakan. Berbagai bencana alam, kekeringan yang berkepanjangan, penyebaran wabah penyakit berbahaya, banjir besar-besaran tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan, tetapi juga berdampak pada manusia, terutama perempuan dan anak yang selama ini paling banyak menjadi korban. Namun sayangnya, Pemerintah Indonesia masih belum serius untuk berkomitmen dan mengambil tindakan nyata untuk mengatasi dampak dari krisis iklim. Hal ini tercermin dalam INDC (Intended Nationally Determined Contribution) yang dipersiapkan menuju COP 21 UNFCCC di Paris akhir Desember nanti.

Ketimbang beralih ke energi terbarukan, Pemerintah Indonesia justru begitu gencar mengembangkan proyek-proyek solusi palsu, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat luas. Bahkan, seringkali proyek-proyek yang dilakukan merugikan masyarakat, perempuan dan laki-laki seperti tercemarnya sumber air masyrakat, hingga penggusuran tempat tinggal maupun sumber-sumber kehidupan. Proyek-proyek tersebut di antaranya:

1. Ekspansi perkebunan kelapa sawit untuk biofuel. Sebagai produsen crude palm oil terbesar di dunia, Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari 13,5 juta ha, yang mana 11,5 juta ha lebih dibangun di atas lahan gambut. Ironisnya, tujuan dari pemakaian biofuel demi pengurangan emisi justru menghasilkan emisi lebih dari 747,5 juta ton CO2 pada tahun 2014. Di kabupaten Merauke, provinsi Papua, pemerintah meluncurkan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang berujung pada penggusuran massal masyarakat, laki-laki dan perempuan, dari tanah ulayat mereka. Lebih dari 1.2 juta lahan sebagai tahap awal didesain untuk industri sawit (20%), industri tebu (30%) dan lebih dari 600.000 hektar untuk areal perkebunan kayu. Itu belum termasuk 2.2 juta lahan yang diserahkan pemerintah untuk industri sawit.

2. Pengembangan Shale Gas, Shale Oil, hingga Coal Bed Methane dianggap sebagai solusi alternatif energi konvensional yang juga menimbulkan masalah tersendiri. Sumber energi ini diekstraksi dengan cara hydraulic fracturing atau biasa disebut fracking yang membutuhkan air dalam jumlah yang sangat besar untuk mengangkut pasir dan berbagai bahan kimia untuk mengekstraksi gas metana atau minyak tersebut. Proses ekstraksi seperti ini berpotensi membawa dampak terjadinya pencemaran air tanah maupun permukaan, hingga terjadinya gempa-gempa lokal.

3. Penerapan clean coal technology pada PLTU dengan anggapan emisi karbon yang dihasilkan akan berkurang dan membuat batubara menjadi energi ‘bersih’. Clean coal technology dianggap sebagai solusi karena penerapan teknologi ini akan meningkat efisiensi dan menurunkan emisi dari proses pembakaran batubara. Bahkan industri batubara mencoba mencari pendanaan dari clean development mechanism (CDM) untuk mendanai penerapan clean coal technology pada PLTU yang sudah dan akan dibangun. Bagaimanapun juga, tetap saja, batubara tidak akan pernah menjadi energi bersih dengan cara apapun karena daya rusak batubara sudah dimulai sejak proses penambangan, persiapan, pengangkutan hingga pembakaran.

4. Rencana pembangunan 1000 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, yang dianggap sebagai “solusi” perubahan iklim karena “bebas emisi CO2”. Padahal, klaim tersebut tidak sepenuhnya tepat, karena jika dihitung berdasarkan daur hidupnya (lifecycle assessment), energi nuklir sebenarnya menghasilkan gas rumah kaca. Emisi GRK energi nuklir bahkan lebih banyak ketimbang energi terbarukan seperti energi surya dan angin. Dengan mengingat bahwa sektor listrik setiap tahunnya hanya menyumbang sekitar 9% dari total emisi GRK dunia sedangkan energi nuklir cuma ada di sektor listrik, maka pembangunan 1.000 buah PLTN pun tak banyak pengaruhnya dalam mengatasi perubahan iklim. Sebaliknya, pembangunan 1.000 PLTN tersebut justru menimbulkan berbagai risiko bencana lainnya bagi bumi yang tidak dimiliki sumber energi lainnya, di antaranya bencana nuklir dan kehancuran ekonomi.

Oleh karena itu, kami, kelompok masyarakat sipil mendesak Pemerintah Indonesia untuk keluar dari skema solusi iklim palsu dan menghentikan segala bentuk energi kotor dan berbahaya.

Aksi ini merupakan bagian dari gerakan masyarakat sipil di berbagai negara di seluruh dunia menjelang perundingan internasional untuk perubahan iklim (COP 21 UNFCCC) di Paris pada Desember nanti. Kita perlu memastikan agar pertemuan yang dilakukan berbicara mengenai solusi iklim untuk kepentingan masyarakat, bukan malah menghasilkan proyek-proyek yang merugikan masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan keterlibatan berbagai lapisan masyarakat, laki-laki dan perempuan, dalam mendorong upaya perlawanan terhadap solusi iklim palsu. Masyarakat berhak untukikut menentukan pilihan masa depannya dan mendorong pemerintah untuk serius berkomitmen mengatasi krisis iklim yang dampaknya sudah dirasakan di seluruh dunia.

Contact Persons:
Ratri Kusumohartono (Sawit Watch), 081251152271, ratri.kusumohartono@gmail.com
Aliza (Solidaritas Perempuan), 081294189573, aliza@solidaritasperempuan.org
Sigit K. Budiono (KruHa), 081318835393, sigit.k.budiono@gmail.com
Bjoe Kurniawan (350 Indonesia), 081290750416, bjoe.kurniawan@gmail.com
Yulia Nadya (JATAM), 085221323231, nana@jatam.org
Andre Baharamin (PUSAKA), 081291888692, andrebarahamin@gmail.com
Marhaini Nasution (AKSI), 081314036438, marhaininasution@gmail.com
Pius Ginting (WALHI), 081293993460, pius.walhi@gmail.com
Dian Abraham (MANUSIA), abrahamdian@gmail.com