Dengan apa kemajuan rumah-tangga sebuah negeri hendak diukur? Membesarnya nilai keuangan dari proses produksi-konsumsi dalam rerantai ekonomik, atau besar-kecilnya derita yang dibentuk oleh proses tersebut? Di Indonesia hari ini – sedikit sekali bedanya dari limapuluh tahun yang lalu – pembesaran rerantai ekonomik lebih patut dikemukakan sebagai pembesaran kekacauan, daripada sebagai tindakan untuk mencegahnya. Dengan kata lain, keteraturan, tata-usaha pengurusan publik, dan perencanaan justru merupakan bagian medan pembesaran kekacauan secara terorganisir dan dengan bentuk yang jelas. Sudah tentu dalam pembesaran kekacauan juga diperlukan pembagian pembebanan akibat-akibat investasi beserta ongkos-ongkos lainnya.
Proses pembesaran kekacauan itu cukup jelas wujud ruang dan waktunya. Bagaimana ruang-ruang diperlakukan? Pembesaran kekacauan berlangsung di ruang-ruang yang diurus dengan ketat oleh pegawai tetap, bukan di luarnya. Di setiap tahun-kerja dari pengurus kantor-kantor negara, sebuah penentu utama dari rencana pembesaran rerantai ekonomik adalah pertanyaan “daratan dan perairan pulau yang mana yang hendak kita ekstraksi nilai keuangannya?” Secara harafiah, setiap jengkal wilayah kepulauan dan perairan Indonesia telah selalu dihitung-hitung potensi uangnya. Bergantung pada jenis “barang” muatannya, bolehlah disusun rencana aliran pemasukan pendapatan dari “pemanfaatan” bentang alamnya, pasifikasi warga dan penjagaan ketertiban serta keamanan situs ekstraksi finansial.
Adapun mengenai soal waktu, gejala keteraturan merupakan efek dari penggunaan bingkai-bingkai durasi dalam daur pengurusan publik, bukan karena ketatnya logika penggunaan waktu untuk memperbaiki keadaan atau mencegah kekacauan. Dalam setengah abad ini publik dilatih kesadarannya untuk terbiasa dengan jadwal-jadwal yang mengikat dan penting hanya karena telah ditetapkan dengan penggunaan wewenang kenegaraan, bukan karena kejelasan logika kepentingan publik yang dilayaninya. Dalam ritus tata-ruang dan tata-perencanaan masa depan, monopoli dan pengusiran publik dari ruang-ruang hidupnya diterapkan dalam rerantai jadwal yang rapat anyamannya, dan terutama didominasi oleh durasi ijin usaha, konsesi usaha ekstraksi, atau tenggat perioda rencana penggunaan ruang.
Laporan riset “Batubara Kelaparan” ini memberikan konfirmasi yang jarang sekali kita peroleh dari berita resmi tentang ekonomi energi dan apa yang disebut sebagai sumber-daya mineral. Riset mengenai sisi ekstraktif dari industri energi yang dilaporkan dengan tajam dan sederhana ini memaparkan bagaimana pembesaran kekacauan berlangsung, dan bagaimana kebangkrutan daya produksi pangan vital rakyat tengah dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, oleh pelaku investasi institusional, juru-juru hitung perekonomian, dan pemegang tanggung-jawab pengurusan publik. Riset penting ini melengkapi beberapa ikhtiar sungguh-sungguh sebelumnya dari beberapa regu-riset lainnya tentang dimensi jejaring kepentingan industri-finansial global dan domestik di balik proses ekstraksi, transportasi dan konsumsi batubara yang berlangsung 24 jam sehari tujuh hari sepekan.
Ikhtisar kesimpulan dari riset kolaboratif JATAM dan Water Keeper Alliance (Aliansi Para Penjaga Air) ini menunjukkan bahwa perlindungan negara atas kelangsungan industri batubara seperti apa adanya sekarang merupakan sabotase terhadap kecukupan pangan masyarakat Indonesia dari sekarang sampai satu keturunan di depan kita di tahun 2050. Bertumpu pada sumber-sumber informasi resmi terpenting tentang alokasi lahan berpotensi tani khususnya tani-pangan, serta pemeriksaan kenyataan di lapangan dengan sebuah rangkaian survai yang seksama di Kalimantan Timur, regu peneliti di balik laporan penting ini menunjukkan logika pembesaran entropi sosial-ekologis yang dimensi ruang-nya jauh melampaui poligon-poligon wilayah ijin usaha pertambangan batubara atau taksiran wilayah tani-pangan beririgasi. Justru karena fokus pemeriksaan riset ini membatasi diri pada satu saja sumber-pangan bulir-buliran yaitu padi, gentingnya masalah kecukupan pangan yang disemai oleh industri batubara di Indonesia sesungguhnya akan jauh lebih memprihatinkan daripada apa yang dituturkan dengan baik dalam laporan ini.
Ketajaman fokus penelitian ini sekaligus merupakan keterbatasan kerangka analitika dan cakupan pemeriksaannya. Industri-keruk batubara, di samping industri tebang-hutan dan kebun-industri telah dan masih terus membongkar dengan seksama syarat-syarat oto-regenerasi dari jejaring kehidupan air permukaan dan air bawah-tanah raksasa di ruang-hidup Mahakam dan Barito di Kalimantan dan di ruang-hidup tanah-basah Musi di Sumatra Selatan. Rangkaian kematian warga di ratusan danau-danau bongkaran-batubara – yang diketahui dan yang berlalu diam-diam – bukan derita yang terburuk. Seperti dikemukakan dalam laporan ini, peracunan jejaring aliran air dalam tubuh manusia dan hewan oleh logam berat yang terurai di sepanjang proses penambangan batubara adalah berita lelayu tentang kematian besar-besaran yang baru akan terjadi dalam satu generasi ini, mungkin sekali tanpa pernah terkabarkan. Apabila fokus dan temuan riset ini kita sandingkan dengan derita sehari-sehari dan pemburukan krisis di ladang-ladang pengerukan batubara terutama tapi bukan hanya di pulau raksasa Kalimantan, tidak berlebihan untuk menyebutkan bahwa pembesaran rerantai ekonomik dalam kurun setengah abad sejak awal perumusan dan penerapan rencana pembangunan lima tahunan di 1969 dulu itu adalah sebuah skandal raksasa yang berkelanjutan.
Statistik industri batubara dan indikator-perekonomian yang dipengaruhinya telah menjadi kata-ganti untuk kematian, derita dan keprihatinan rakyat Indonesia sampai di ceruk-ceruk sungai di pulau-pulau pembongkaran di Indonesia. Laporan macam ini patut dinamai sebagai laporan rakyat kepada sesamanya, bagian dari proses raksasa pembentukan pengetahuan rakyat untuk melawan perusakan dan memulihkan derita dan ingatan panjang tentangnya.
Note: Tulisan ini merupakan review atas Laporan JATAM dan Waterkeeper Alliance tentang Hungry Coal: Pertambangan Batu Bara dan Dampaknya Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia