DSC02683Kami yang tergabung di dalam Komite Aksi Hari Tani Nasional, koalisi aksi yang terdiri dari organisasi tani, buruh, pemuda mahasiswa, perempuan, masyarakat adat, masyarakat miskin kota serta berbagai NGO yang bergerak di bidang agraria, lingkungan hidup, HAM dan lainnya, pada hari ini menyampaikan tuntutan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menjawab situasi darurat agraria yang tengah dialami oleh bangsa ini.

Kami meminta pemerintahan Jokowi-JK tidak mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya, yang tidak mempunyai kemauan politik untuk menjalankan pembaruan agraria sejati. Padahal pelaksanaan pembaruan agraria atau reforma agraria adalah amanat konstitusi UUD 1945, amanat UUPA No.5/1960 dan amanat Tap MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Amanat tersebut adalah kewajiban bagi pemerintah untuk segera menjalankannya.

Hari ini, kami kembali mengingatkan pemerintahan Jokowi-JK mengenai buruknya situasi agraria di Tanah-Air akibat tidak dijalankannya agenda pembaruan agraria. Petani, sebagai mayoritas rakyat Indonesia telah menjadi warga negara yang tertindas dan terbelakang, dan desa-desa tempat petani bermukim telah menjadi kantong-kantong kemiskinan.

Kemiskinan di pedesaan ini diakibatkan oleh ketiadaan kepemilikan, akses dan kontrol petani atas tanah yang menjadi alat produksinya yang utama. Sekitar 56% penduduk pedesaan merupakan buruh tani atau petani gurem dengan kepemilikan tanah rata-rata di bawah 0,5 Ha. Selain itu, indeks gini tanah nasional mencapai angka 0,72, yang mengindikasikan bahwa struktur kepemilikan dan penguasaan tanah masih sangat timpang (BPS, 2013).

Keadaan di atas tidak pernah terdeteksi oleh pengambil kebijakan dalam program pengentasan kemiskinan. Walhasil, puluhan triliun rupiah yang digelontorkan pemerintah untuk program-program penanggulangan kemiskinan telah gagal dalam mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan di pedesaan maupun perkotaan. Ini dikarenakan program tersebut tidak menjawab akar masalah yang utama, yakni ketiadaan tanah pertanian untuk rakyat. Akibatnya, mayoritas pertanian skala rumah tangga saat ini tidak dapat memberikan kesejahteraan kepada keluarga mereka. Kami sangat prihatin bahwa petani telah menjadi profesi sekaligus kelas sosial yang dikucilkan.

Saat ini, kita telah menyaksikan laju konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang begitu cepat dan meluas. Jika pun bertahan sebagai lahan pertanian, sesungguhnya penguasaan dan pengelolaannya telah berpindah tangan, terakumulasi ke perusahaan-perusahaan pertanian skala besar, dimana petani dipaksa menjadi buruh di tanah-tanah yang dulu digarapnya.

Kita telah menyaksikan pula para petani tak bertanah dan petani gurem, dipaksa berpindah profesi menjadi buruh-buruh di perkebunan, di pabrik-pabrik, atau mereka terlempar ke sektor informal di perkotaan sebagai pekerja kasar dengan upah rendah. Akibatnya, kita menyaksikan pula desa-desa telah menjadi daerah penyuplai tenaga-tenaga kerja ke luar negeri, utamanya para perempuan dan anak-anak, tanpa perlindungan memadai dari Negara.

Selain peningkatan jumlah masyarakat miskin, BPS pun mencatat bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2013), negeri agraris ini telah kehilangan sekitar 5,7 juta rumah tangga petani. Proses deagrarianisasi dan kehilangan jumlah rumah tangga petani secara masif tersebut telah mengakibatkan negeri ini tak mampu mencapai swasembada pangan dan bergantung penuh pada impor pangan.

Sementara itu, krisis ekonomi global karena penguatan Dollar Amerika juga telah menyebabkan harga-harga hasil pertanian dan perkebunan yang diterima di tingkat petani sangat rendah. Sebab, ekspor komoditas hasil pertanian dan perkebunan permintaannya menurun di pasar global. Seakan tak cukup di situ, kehidupan petani pun semakin memprihatinkan. Kekeringan telah membuat sawah dan ladang petani mengalami gagal panen. Kekeringan juga telah membuat kebun dan ladang petani di Sumatera dan Kalimantan menjadi korban kebakaran.

Sayangnya, pukulan bertubi-tubi kepada petani akibat perubahan iklim, bencana ekologis hingga krisis ekonomi global dewasa ini belum menggerakkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah khusus menyelamatkan kehidupan petani dan masyarakat pedesaan yang semakin terpuruk.

Kebijakan-kebijakan yang ada selama ini menyangkut pembangunan di sektor agraria, SDA dan pembangunan infrastruktur justru tetap dipertahankan, dan semakin melahirkan ketimpangan struktur agraria antara masyarakat miskin (petani tak bertanah/buruh tani, petani gurem dan masyarakat di pedesaan pada umumnya). Sebut saja, UU Nomor 41 tahun 1999 dan UU nomor 19 tahun 2004 tentang Kehutanan, UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), UU Holtikultura, UU Lahan Abadi Pertanian, UU Migas, UU Penanaman modal, serta berbagai perundangan dan peraturan lainnya.

Berbagai peraturan perundangan tersebut telah membuka lebar keran investasi dan praktek-praktek perampasan tanah skala raksasa atas nama pembangunan. Kita menyaksikan setahun ini, praktik liberalisasi berbagai sektor agraria tersebut terus dijalankan, yang pada akhirnya mempertajam ketimpangan struktur agraria di Indonesia.

Di sektor kehutanan, saat ini terdapat kurang lebih 452 perusahaan pengelola hutan yang luas penguasaannya mencapai 35,8 juta hektar. Khusus di Jawa, monopoli atas tanah di kawasan hutan dilanggengkan oleh PT. Perhutani yang menguasai lebih dari 2,5 juta hektar hutan Jawa. Di sektor perkebunan, korporasi sawit telah menguasai 13,4 juta hektar dan tiap tahunnya bertambah setengah juta hektar. Bahkan, sebagian lahan tersebut merupakan hasil konversi lahan hutan maupun lahan pertanian produktif masyarakat.

Konsekuensi dari tingginya monopoli, eksploitasi dan ketimpangan struktur agraria menyebabkan konflik agraria merebak di banyak daerah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2004-2014), tercatat ada 1.391 konflik agraria yang terjadi, yang melibatkan tanah seluas lebih dari 6 juta hektar dan mengancam lebih dari 1 juta rumah tangga. Konflik-konflik yang terjadi diikuti pula oleh berbagai tindak kekerasan, pelanggaran HAM berat dan kriminalisasi terhadap petani dan aktivis pendamping petani, yang mana pelakunya selain keamanan perusahaan, juga melibatkan aparat keamanan pemerintah seperti TNI dan Polri. Dalam sepuluh tahun terakhir (2004-2014), telah banyak korban konflik berjatuhan, baik laki-laki maupun perempuan, dimana 85 petani tewas, 110 orang tertembak, 633 orang mengalami penganiayaan dan 1.395 orang ditangkap (Laporan KPA, 2014).

Saat ini, pemerintahan Jokowi-JK yang menjanjikan pelaksanaan reforma agraria melalui program redistribusi tanah 9 juta hektar, harus mau dan mampu mengambil langkah konkrit dengan melaksanakan reforma agraria sejati, dimana redistribusi tanah sungguh-sungguh dijalankan dengan berorientasi pada tujuan: memperbaiki ketimpangan struktur agraria yang ada, bukan semata-mata “bagi-bagi tanah” apalagi legalisasi asset (sertifikasi); menyelesaikan konflik agraria dengan mengarahkan target obyek (tanah) prioritas reforma agraria adalah di wilayah-wilayah konflik agraria; dan mendorong perbaikan serta peningkatan kesejahteraan petani secara mandiri. Hanya melalui jalan reforma agraria sejati lah, petani di Indonesia akan menemukan jalan terang menuju pemenuhan rasa keadilan dan kemakmuran. Melalui reforma agraria pula, maka kedaulatan pangan pun akan terwujud secara nyata.

Dalam rangka pelaksanaan reforma agraria, maka pemerintahan Jokowi-JK harus memastikan ego-sektoral haruslah dihentikan, dimana semua kementerian dan lembaga, termasuk pemerintah di daerah (gubernur dan bupati), yang ikut mengurusi pengelolaan sumber-sumber agraria (SDA) dapat berkoordinasi dan bekerjasama menjalankan reforma agraria secara menyeluruh dan tepat sasaran, baik tepat obyek tanah maupun subyek penerima manfaat, utamanya bagi petani miskin (gurem) dan petani tak bertanah, baik laki-laki maupun perempuan.

Selain menghentikan ego-sektoral, keberhasilan reforma agraria di bawah pemerintahan Jokowi-JK juga mustahil tercapai jika dalam proses pelaksanaannya, pemerintah tidak melibatkan partisipasi aktif organisasi masyarakat sipil dan masyarakat lokal di lokasi-lokasi obyek reforma agaria. Selain itu, untuk memastikan pelaksanaan reforma agraria berjalan secara nasional (dari pusat hingga daerah), maka Presiden Jokowi harus segera mengeluarkan peraturan presiden mengenai pelaksanaan reforma agraria yang sejati, yang bersifat menyeluruh, otoritatif dan lintas sektor. Perpres ini pun untuk menjamin kepastian hukum dan legitimasi agenda reforma agraria untuk dipatuhi semua kementerian dan lembaga terkait, dari pusat hingga daerah.

Untuk itu, dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional tahun ini, kami dari Komite Aksi Hari Tani Nasional 2015, menyampaikan tuntutan kepada Pemerintahan Jokowi-JK, sebagai berikut:

1. Laksanakan Reforma Agraria sejati;
2. Selesaikan konflik agraria dan bentuk lembaga penyelesaian konflik agraria di bawah Presiden
3. Hentikan liberalisasi sumber-sumber agraria di bidang pertanahan, kehutanan, perkebunan, pertanian, pertambangan, pesisir-kelautan dan pangan, serta prioritaskan penggunaannya untuk petani dan masyarakat miskin lainnya.

Demikian pernyataan sikap bersama ini dibuat untuk menjadi perhatian semua pihak.

Selamat merayakan kebangkitan kaum tani Indonesia di seluruh Tanah-Air, Selamat Hari Tani Nasional!

Salam Pembaruan Agraria,
Jakarta, 21 September 2015
Komite Aksi Hari Tani Nasional

Iwan Nurdin, Koordinator Umum
Kontak: 081229111651

Komite Aksi Hari Tani Nasional:
KPA, STI, GPM, Sepetak, AGRA, FPBI, SMI, AMAN, RMI, Amanat Bogor, KPOP, WALHI, PMII Jabar, KontraS, Elsam, IHCS, SPKS, Solidaritas Perempuan, SP Jabodetabek, Bina Desa, Jatam, JKPP, Sains, Pilnet, Pusaka, Sawit Watch, TuK-Indonesia, KIARA, SPP, FPMR Tasikmalaya, Farmaci Ciamis, FPPMG Garut, KBM Ciputat, KPRI, GMNI Unas