Dalam kasus seperti ini, Negara seharusnya hadir
sebagai representasi Kedaulatan Rakyat.”
– Jokowi, Porong, 29 Mei 2014 –

 

Tinjauan Umum
Ungkapan kata di atas disampaikan Presiden Jokowi di hadapan ribuan korban Lumpur Lapindo saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Jelas dalam komitmen yang diucapkan Presiden Jokowi tersebut, Pemerintahan yang dia pimpin saat ini akan hadir berpihak pada rakyat dalam kasus kejahatan korporasi, khususnya korporasi pertambangan.

Konsesi Tambang, Migas dan Perkebunan yang Mengkapling Hampir 45% Luas Wilayah Indonesia. (JATAM 2014)
Konsesi Tambang, Migas dan Perkebunan yang Mengkapling
Hampir 45% Luas Wilayah Indonesia. (JATAM 2014)

Namun kenyataannya, dalam tujuh bulan kepemimpinan Jokowi – JK berbagai harapan publik seolah berputar balik. Baru sebulan dilantik, presiden Jokowi dalam pidatonya di KTT APEC (10/11/2014) malah secara vulgar mengobral berbagai proyek demi mengundang investasi besar-besaran di sektor ekstraktif dan infrastruktur. Tentu saja penggenjotan dua sektor ini akan semakin meningkatkan pengerukan Sumberdaya alam dan perusakan ruang hidup masyarakat. Bagaimana tidak, pengerukan sumberdaya secara massif tersebut semakin diakselerasi dengan pengadaan infrastruktur yang semakin memuluskan rantai pasokan komoditas dari wilayah ekstraksi ke kawasan industri.

Relasi kuasa politik dan modal semakin kentara, tak ubah dengan rezim pemerintahan sebelumnya. Lingkaran kuasa modal terbungkus dalam struktur partai, menggerogoti kebijakan dan semakin menjauhkan kedaulatan Negara terhadap sumber daya alam tambang dan energi. Penetapan harga BBM dilepaskan ke mekanisme pasar, walaupun pemerintah masih malu-malu mengakuinya. Tentu saja ketidak-pastian harga BBM ini akan segera diikuti oleh kenaikan Tarif Dasar Listrik dan LPG.Kuasa modal ini terang benderang dalam target elektrifikasi Jokowi – JK. Hitungan bisnis dikedepankan untuk memprioritaskan energi fosil yang berbahaya terhadap keselamatan rakyat ketimbang mengutamakan energi terbarukan dan ramah lingkungan. Target 35.000 MW yang akan dibangun hingga 2019 nanti, 94% bersumber dari energi fosil: Batubara 20.000 MW; Gas 13.000 MW. Menjauhkan harapan Indonesia akan lepas dari ketergantungan energi fosil.

Apa lagi dalam upaya penegakan hukum lingkungan, masih jauh dari kata “Negara hadir sebagai representasi Kedaulatan Rakyat”. Dalam kasus Lapindo yang hampir genap berusia Sembilan tahun, bukannya menghukum para pelakunya, Pemerintah Jokowi – JK malah memberikan bantuan dana talangan bagi Lapindo sebesar Rp. 781 milyar. Ada faktor kemendesakan yang memang harus dipenuhi atas nasib korban, namun tidak cukup menyelesaikan persoalan sesungguhnya yang dihadirkan PT. Lapindo Brantas Inc.Dalam kasus-kasus kejahatan korporasi tambang yang lain, belum ada tanda-tanda pemerintahan Jokowi – JK memulai penyelesaiannya. Seperti kasus Freeport, Sape, Mandailing Natal, Batang Toru, Bangka, anak-anak yang menjadi korban lubang tambang, kasus PT. Semen Indonesia di Rembang hingga penembakan warga di Wawonii yang terjadi baru-baru ini.

Unduh Kejahatan Korporasi Tambang: Perampasan Lahan Hingga Ancaman Kedaulatan Pangan

Kertas Posisi Hari Anti Tambang 2015

Download - PDF