Selama empat dekade, tanaman mete menjadi bagian penting roda kehidupan warga Pulau Wawonii, di timur Sulawesi Tenggara. Terusik kehadiran tambang, warga pun tak tinggal diam.

Rasyid (61) hanya tiga kali menebas rumput di bawah salah satu pohon mete di kebunnya. Ia lebih banyak menatap pohon-pohon mete itu dengan senyum.

”Kalau tidak datang ke kebun, badan saya gatal. Biar tidak bikin apa-apa di sini, yang penting datang,” ujar warga Desa Roko-roko, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, itu, pada 16 Maret 2019.

Rasyid tak bisa menahan rindu pada kebunnya. Dua minggu ia tidak menyambangi kebun yang menemaninya selama separuh usianya itu. Pada siang itu, celana panjang dan baju kaus licin, bukan baju berkebun. Ia hanya melepas kangen, sekadar berjalan-jalan di kebun mete.

Tiba di salah satu pohon mete bercabang tiga, kakek 10 cucu itu menatap ranting-ranting. Tinggi pohon rimbun ini 15 meter. ”Saat panen, buah mete penuh di bawah pohon. Satu pekerja tak bisa pungut semua seharian,” kata Rasyid.

Luas kebun Rasyid 4 hektar dengan 400-an pohon. Ia menanam tahun 1984, penggerak pertama penanaman mete di tenggara Pulau Wawonii. Rata-rata ia mendulang 4-5 ton biji mete per tahun.

Tahun 2018, dari produksi 5 ton seharga Rp 18.000 per kilogram, ia mengantongi Rp 90 juta. Tahun 2017, lebih besar lagi karena harga kala itu Rp 25.000 per kg. Puncak musim panen mete akhir November.

Berkat mete, biduk ekonomi keluarga Rasyid berlayar mulus. Empat dari delapan anaknya lulus pendidikan tinggi. Dua masih SMP dan SMA. Yang lain tamat SMA, lebih karena kemauan mereka.

Tiga tahun lalu, Rasyid membeli tunai mobil pikap. Ia memakainya untuk bepergian, termasuk ke ibu kota Konawe Kepulauan, Langara, sekitar 60 kilometer melalui jalan tanah.

Berkah mete juga dirasakan Abdul Masri (64), warga Desa Sukarela Jaya, Wawonii Tenggara. Dengan kebun 1,4 hektar, hasilnya bisa untuk menyekolahkan empat anaknya. Dua anaknya sarjana, dua lainnya masih kuliah.

Unjuk rasa
Rasyid dan Abdul hanya dua dari ratusan warga Roko-roko Raya yang dua tahun terakhir getol menolak kehadiran tambang di Pulau Wawonii. Roko-roko Raya sebutan untuk wilayah yang terdiri atas lima desa. Selain Roko-roko dan Sukarela Jaya, ada Dompo-dompo, Bahaba, dan Teporoko.

Warga kelima desa itu, sejak akhir 2018 hingga medio Maret 2019, menggelar tujuh unjuk rasa menentang tambang. Aksinya di Langara, ibu kota kabupaten, dan Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara, yang ditempuh 4 jam dengan kapal.

Seluruh penduduk Roko-roko Raya memiliki kebun mete. Penanamannya mulai dilakukan pada 1980-an. Luas kebun mete sekitar 700 hektar dengan produksi 600-800 ton per tahun. Dulu, komoditas pertama yang menjadi andalan adalah kelapa. Dalam bahasa lokal, Wawonii berarti di atas kelapa.

Namun, sejak 1990-an, mete menggeser kelapa sebagai komoditas primadona. Harganya lebih bagus serta prosesnya mudah. Kelapa yang harus diolah menjadi kopra harganya sering di bawah Rp 5.000 per kilogram. Belakangan, banyak ditanam pala dan cengkeh untuk menambah penghasilan.

Oleh karena rumah terletak di pesisir, warga juga melaut. Ikan tuna di Laut Banda target utama mereka. Intinya, perekonomian berputar lancar.

Perekonomian yang baik di Roko-roko Raya ditunjukkan dengan kehadiran Bank Sultra. Di seluruh Pulau Wawonii, bank daerah itu hanya berada di Langara dan Roko-roko. Indikator kesejahteraan lainnya, hampir semua rumah warga berkonstruksi beton. Jarang ada rumah semipermanen.

Pertambangan
Luas daratan Pulau Wawonii 867 kilometer persegi. Saat mekar dari induknya, Kabupaten Konawe, pada 2013, pulau itu memakai Konawe Kepulauan sebagai nama kabupaten. Permukiman tersebar di pesisir. Kebun mete dan kelapa di kaki dan lereng bukit.

Sekitar 10 tahun lalu, Wawonii dilirik perusahaan tambang, seperti juga marak di wilayah daratan Sultra. Ada 18 izin usaha pertambangan (IUP) di Wawonii mengincar kandungan nikel dan pasir krom. Izin-izin diterbitkan 2009-2012 saat Wawonii bagian dari Kabupaten Konawe.

Saat ini, tiga IUP habis masa berlaku tanpa pernah berproduksi. Dari 15 IUP tersisa, baru satu izin yang mulai berproduksi. Wilayah pertambangan IUP yang mulai beroperasi itu berada di Roko-roko Raya.

Wilayah tambang sebagian berada di kebun mete, sebagian di lereng gunung di timur kebun. Ada warga yang sudah menjual kebun mete untuk keperluan jalan masuk areal tambang. Perusahaan membeli lahan warga Rp 500.000-Rp 700.000 per pohon.

Pegiat penolakan tambang Desa Roko-roko, Imran (49), menyatakan, kehadiran tambang cepat atau lambat akan membawa bencana. Warga yang telah menjual kebun kehilangan penghasilan, sedangkan uang hasil penjualan habis seiring waktu.

Warga yang tak menjual kebun juga akan terdampak saat aktivitas tambang beroperasi, terutama pengaruh debu yang membuat mete gagal berbuah.

Dampak tambang bagi pulau kecil terjadi di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, juga di Sultra. Luas pulau tak beda jauh dengan Wawonii. Di Kabaena Selatan, banjir saat hujan biasa terjadi karena ada tambang di bukit di atas permukiman. Pohon mete warga tak lagi produktif karena debu dari aktivitas tambang.

Namun, Amirlan (44), warga Desa Bahaba, Wawonii Tenggara, yang pro tambang, melihat kehadiran perusahaan membuka lapangan kerja. Ia yang sering merantau bisa mempunyai pekerjaan tetap.

Soal keteguhan warga memilih pertanian daripada tambang, Abdul Masri menyatakan, ”Menolak tambang tak hanya soal mata pencarian, tetapi hak hidup kami sekarang dan generasi masa depan. Tanah ini telah menyejahterakan kami,” ujarnya.

Sumber: Kompas