Suasana di Auditorium Untag Banyuwangi saat berlangsungnya Seminar Nasional “Peran Teknologi dalam Pengembangan Kawasan Pesisir untuk Kemajuan Bangsa”
Suasana di Auditorium Untag Banyuwangi saat berlangsungnya Seminar Nasional “Peran Teknologi dalam Pengembangan Kawasan Pesisir untuk Kemajuan Bangsa”

(Banyuwangi, 28 Juli 2016). Di Seminar Nasional “Peran Teknologi dalam Pengembangan Kawasan Pesisir untuk Kemajuan Bangsa” (26/7/2016), Ketua Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi Sunandiantoro menanyakan beberapa hal kepada salah seorang pembicara, yakni Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Dalam seminar yang berlangsung di Ruang Auditorium Untag Banyuwangi tersebut, Sunandiantoro yang saat itu mengenakan jas almamaternya bertanya mengapa Banyuwangi Festival lebih mengedepankan jazz daripada musik lokal, mengapa bukan festival gamelan atau kuntulan?

Selanjutnya, mahasiswa Fakultas Hukum Untag Banyuwangi itu juga bertanya mengapa hotel bintang lima yang diutamakan oleh Pemkab Banyuwangi untuk disediakan? Menurutnya, seharusnya rumah-rumah warga sekitar lokasi wisata itulah yang mesti diprioritaskan dibangun sebagai homestay.

Ujungnya, Sunandiantoro memanfaatkan sesi tanya-jawab tersebut untuk bertanya kepada Bupati Anas tentang rencana eksploitasi emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu. “Gunung Tumpang Pitu itu jadi tempat berlindung masyarakat dari tsunami. Misalnya Tumpang Pitu itu dikeruk, ya wassalam, pak. Wassalam artinya habis, dan kita perlu mbangun gunung baru di sana, “ kata Sunandiantoro.

Pertanyaan-pertanyaan Ketua BEM Untag Banyuwangi tersebut seluruhnya ditanggapi Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas kecuali satu pertanyaan, yakni pertanyaan yang tentang Tumpang Pitu.

Saat Moderator menyilakan Bupati Anas untuk menjawab pertanyaan dari peserta seminar yang diselenggarakan atas kerjasama Untag Banyuwangi dengan Institut Teknologi 10 November (ITS), Bupati lulusan strata-2 Fisip Universitas Indonesia itu dengan responsif menjawab semua pertanyaan, kecuali pertanyaan tentang rencana eksploitasi emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu. Jangankan menanggapinya, menyebut kata “Tumpang Pitu” saja tidak.

Sikap Bupati Anas yang enggan menanggapi pertanyaan tentang Tumpang pitu ini disayangkan oleh anggota Banyuwangi’s Forum For Environmental Learning (BaFFEL) Reno Farhan Al Fatah yang juga hadir dalam seminar tersebut. Menurutnya, pertanyaan tentang Tumpang Pitu tersebut relevan dengan seminar kelautan dan perikanan yang sedianya dihadiri Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

“Gunung Tumpang Pitu itu kakinya bersentuhan langsung dengan laut selatan Jawa, dan letaknya juga sangat dekat dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) kampung nelayan Pancer. Jadi, pertanyaan tentang tambang emas Tumpang Pitu itu sangat relevan dengan tema seminar. Pemurnian emas yang menggunakan sianida jelas akan menghasilkan limbah jenis B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang kelak akan beresiko bagi warga. Masa depan perikanan laut di Pancer yang berkelanjutan tengah berhadap-hadapan dengan tambang emas yang sesungguhnya tak berkelanjutan,” jlentreh Reno.

Mahasiswa yang hobi naik gunung itu menambahkan, keengganan Bupati Anas menanggapi pertanyaan Ketua BEM Untag Banyuwangi tentang tambang emas Tumpang Pitu, menunjukkan bahwa hari Bupati “alergi” dengan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang Tumpang Pitu.

“Keenggenan bupati menanggapi pertanyaan tentang tambang emas Tumpang Pitu itu menunjukkan bahwa keterancaman kehidupan nelayan Pancer oleh limbah tambang emas adalah persoalan yang dianggap kecil oleh Bupati. Sikap bupati itu menunjukkan, bahwa di mata beliau persoalan keterancaman kehidupan nelayan Pancer oleh limbah tambang emas masih kalah dengan urusan festival-festival,” imbuh Reno.

 

Rosdi Bahtiar Martadi

Humas Banyuwangi’s Forum For Environmental Learning (BaFFEL)