KTT ASEAN Harus Keluar Dari Jebakan Solusi Palsu Transisi Energi, Perdagangan Karbon, dan Proyek-Proyek Perampas Tanah
Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (KTT ASEAN) ke-43 pada tanggal 5-7 September di Jakarta, tidak ubahnya adalah pertemuan tingkat tinggi kepala negara atau pemerintahan negara ASEAN dalam Epicentrum of Crisis. KTT ASEAN sebagai agenda regional dan sarana pencitraan pemerintah Indonesia menuai berbagai persoalan.
KTT ASEAN membahas isu regional seperti kedaulatan pangan, ekonomi digital, pertumbuhan ekonomi, ekonomi biru, dan trafficking, serta dua agenda tambahan terkait isu netralitas karbon dan kendaraan listrik. KTT ASEAN digelar di tengah situasi pemburukan kualitas udara di Jakarta dan berbagai daerah akibat kebakaran hutan dan lahan, emisi dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, dan lainnya.
Pencitraan dan gimmick demi agenda internasional menjadi cara yang biasa dilakukan oleh negara. Alih-alih mengupayakan secara serius penghentian penggunaan energi fosil dan mulai meningkatkan pembangkit listrik berbasis energi bersih, terbarukan, dan berkeadilan, justru hal yang dilakukan sebagaimana yang terjadi pada penyelenggaraan G20 tahun lalu. Selain terdapat pembungkaman masyarakat yang mengkritisi penyelenggaraan KTT ASEAN dan agenda di dalamnya, juga terjadi serangkaian rekayasa lalu lintas dan pembatasan hak mobilisasi di Jakarta atas nama sterilisasi pertemuan elit.
Pertemuan ASEAN yang minim partisipasi rakyat adalah bentuk kegagalan negara anggota untuk membangun organisasi regional yang berpusat dan berorientasi pada rakyat, sebagaimana mereka cita-citakan pada KTT di tahun 2015. Perhelatan KTT ASEAN disebut untuk menegaskan kembali komitmen ASEAN mengurangi emisi karbon dan mempercepat transisi energi yang adil dan inklusif. Namun Indonesia justru akan meningkatkan emisi melalui perluasan infrastruktur gas dan LNG eksisting. Agenda sebenarnya di balik ini adalah untuk meningkatkan kontrol korporasi atas pasar energi menggunakan isu perubahan iklim.
Investasi yang mendorong penggunaan bahan bakar fosil tidak ubahnya sebagai fase lain dari kolonialisme abad ke-21 dengan kedok transisi energi, yang justru dapat menimbulkan risiko terhadap dekarbonisasi, keamanan energi, dan perlindungan lingkungan. Biaya yang timbul akibatnya jauh lebih besar dibanding investasi yang dibutuhkan untuk memitigasi kerusakan.
Berdasar ASEAN State of Climate Change Report, Emisi gas rumah kaca (GRK) telah meningkat seiring dengan industrialisasi berbasis energi bahan bakar fosil, dan perubahan penggunaan lahan yang mengakibatkan hilangnya hutan tropis dan lahan gambut yang kaya akan keanekaragaman hayati. Bahkan emisi GRK akan terus meningkat hingga tahun 2030 secara global, yang menyebabkan kenaikan suhu sebesar 2,1-3,9 °C pada tahun 2100. Pusat Energi ASEAN (ACE) memperkirakan bahwa emisi GRK dari sektor energi, akan meningkat sebesar 34-147% antara tahun 2017 dan 2040.
Lebih lanjut, satu di antara krisis lainnya yaitu krisis agraria yang berkaitan erat pada akar kemiskinan, ketidakadilan, ketimpangan dan konflik agraria yang dari tahun ke tahun cenderung naik eskalasinya. Sepanjang tahun 2015-2022 setidaknya telah terjadi 2.701 konflik agraria di berbagai sektor. Bahkan sepanjang Januari-September 2023, meski tahun belum berakhir setidaknya telah terjadi lebih dari 230 letusan konflik, dengan tingkat kriminalisasi, kekerasan dan intimidasi pada pejuang HAM yang meningkat dari tahun sebelumnya (KPA, 2023).
Proyek korporasi pangan (food estate) yang terbukti gagal dan menimbulkan berbagai persoalan sosial ekologis seperti deforestasi, perampasan lahan, dan pelanggaran HAM, terus dipaksakan di samping kemudahan importasi pangan dan gagalnya negara memastikan hak atas pangan terpenuhi. Selain itu juga terdapat netralitas karbon yang berpotensi menjadi sarana greenwashing bagi negara maju dan korporasi untuk tetap melakukan ekstraksi sumber-sumber agraria. Netralitas karbon dalam skema perdagangan karbon berpotensi merampas kedaulatan masyarakat lokal dan masyarakat adat atas kedaulatan wilayah mereka. Akselerasi ekosistem kendaraan listrik juga memiliki catatan hitam dalam rantai pasok hulu hilir komoditas mineral seperti nikel. Ada jutaan hektar alih fungsi kawasan hutan, ratusan sungai dan pesisir tercemar hingga ratusan desa lingkar tambang yang hancur lingkungan hidupnya.
Kesemua kemudahan perampasan tanah atas nama pembangunan, difasilitasi oleh berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan demi menciptakan iklim investasi sebaik mungkin. Sebut saja yang baru terjadi di Air Bangis, Pasaman Barat dan proyek Rempang Eco City di Batam, berbagai proyek infrastruktur dikebut dan dipaksakan dengan pengamanan aparat yang berlebihan. Anak dan perempuan menjadi korban terdepan dan tidak terhitung, baik pada tataran rencana, implementasi dan dampak pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Lalu ambisi proyek 10 Bali baru di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) di balik gegap gempita pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Super Prioritas Labuan Bajo, nyatanya juga semakin menyengsarakan rakyat dan mencerabut akar budaya, sosial dan ekonomi masyarakat. Selain pemaksaan proyek geothermal yang mengorbankan rakyat di Poco Leok, di Golo Mori, Manggarai Barat juga terjadi pembangunan yang menggusur tanpa partisipasi, tanpa ganti rugi, bahkan dilakukan dengan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi. Hingga rangkaian KTT ASEAN akan berakhir, belum ada tanggung jawab negara menyelesaikan berbagai persoalan ini.
Hilangnya ruang hidup rakyat akibat pembangunan skala besar kemudian mendorong banyak perempuan untuk memilih menjadi buruh migran sehingga isu buruh migran menjadi hal penting dalam ASEAN. Skema migrasi buruh melalui perekrutan langsung secara online kemudian disalahgunakan oleh agen penempatan yang berujung pada tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Cengkraman aktor privat dan kegagalan negara ASEAN untuk membangun tata kelola migrasi di Asia Tenggara telah mereproduksi kerentanan perempuan buruh migran.
Oleh karena itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil, di antaranya LSM ILMU, Serikat Pemuda NTT, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Solidaritas Perempuan (SP), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), serta warga dari Manggarai Barat, menuntut negara untuk menyudahi dan menghentikan berbagai praktik perampasan lahan
Narahubung:
- Warga Manggarai Barat
- Serikat Pemuda NTT
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
- Solidaritas Perempuan (SP)
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)