Catatan Tuturan Warga Tapak – Industri Ekstraktif Menyoal Jebakan COP26
Belum genap sebulan sejak berakhirnya gelaran pertemuan para pihak dalam KTT Perubahan Iklim PBB 2021 (COP26) di Glasgow pada 12 November 2021 lalu, rentetan bencana yang dipicu oleh perubahan iklim dan perusakan lingkungan, menggempur Indonesia. Banjir yang melanda Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat yang berlangsung berhari-hari bahkan bermingguminggu, tidak lepas dari makin habisnya Kawasan hutan dan laut akibat dikonversi menjadi konsesi industri ekstraktif tambang, perkebunan, industri di laut hingga industri kehutanan.
Cerita bencana semacam ini seolah seperti kaset yang terus diputar ulang di setiap musim penghujan. Sebut saja bencana banjir yang kerap terjadi di sepanjang DAS Bengkulu, yang pada awal 2019 yang juga menyebabkan setidaknya 29 orang meninggal dunia dan 12.000 orang terpaksa mengungsi. Banjir parah yang kerap terjadi di DAS Bengkulu ini tidak lepas dari perusakan Kawasan hutan di Kawasan hulu akibat industri tambang dan sawit; Longsor di Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang memicu banjir bandang dan lumpur di sejumlah wilayah di Kabupaten Lebak, Banten, juga tidak lepas dari aktivitas penambangan emas di Kawasan Taman Nasional tersebut; Banjir besar di Kalimantan Selatan pada awal 2021 lalu yang meluas di Sembilan kabupaten/ kota, yang juga tak lepas dari semakin habisnya Kawasan hutan akibat dikonversi menjadi Kawasan tambang dan perkebunan. Setidaknya 3,7 juta hektar Kawasan hutan di Kalimantan Selatan sudah dikapling oleh industri tambang dan sawit.
Namun sayangnya, para pengurus negara abai dengan kerentanan akan bencana iklim yang ada di Indonesia. Hingga saat ini ratusan proyek industri ekstraktif, mulai dari tambang, smelter hingga PLTU Batu Bara justru dibangun di daerah berisiko tinggi bencana gempa, tsunami, longsor dan banjir. Belum lagi penghancuran Kawasan hutan yang masih terus berjalan demi kepentingan industri tambang, bahkan mendapatkan perlindungan dengan adanya UU Cipta Kerja, Komitmen Indonesia dalam menangani perubahan iklim pun akhirnya patut dipertanyakan.
Diperparah lagi, COP26 pun hanya mengulang putaran COP sebelumnya, menyodorkan resep solusi menyesatkan yang jauh dari keadilan iklim. Industri ekstraktiv dan berbasis lahan skala luas sebagai penyebab utama bencana iklim masih mendapatkan ruang dan insentif yang begitu besar, alih-alih dituntut pertanggungjawabannya dalam bencana iklim yang terjadi saat ini. Resep-resep palsu-gagal ini lah yang ditelan mentah-mentah dan dipromosikan oleh Pemerintah Indonesia dengan jargon Pembangunan Rendah Karbon (Green Development). Mulai dari resep pengembangan ekosistem mobil listrik, teknologi Clean Coal, Gasifikasi Batu Bara, Net-Zero Emissions, perluasan pembangkit listrik panas bumi (PLTP), hingga pembangunan Dam raksasa untuk PLTA. Kondisi ini juga diperparah dengan masih tidak tersentuhnya industri migas dalam putaran pertemuan krisis iklim.
Selengkapnya.
