Durian biasa hadir dalam perayaan HUT RI, seperti dalam bentuk lomba sepak bola durian atau lomba makan durian. Namun, belum ada yang menghubungkan antara durian dengan perjalanan bangsa Indonesia, yang kini memasuki 76 tahun kemerdekaan. Durian yang mempengaruhi berbagai budaya di Asia Tenggara sejak ribuan tahun, namun baru dikenal di dunia barat sekitar 600 tahun lalu ini juga mengajarkan bagaimana merdeka rasa “kolonial”.
Di negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan, durian memiliki tempat terhormat. Ia dikenal sebagai raja buah dari Asia Tenggara dan satu obyek fantasi para peneliti dan petualang barat untuk mencari ‘timur jauh’. Rumor tentang buah liar yang berbau sangat tajam, menjijikkan, namun berdaging lembut berasa keju merupakan tantangan untuk merasakan eksotisme ‘timur jauh’.
Dalam bukunya, Nathaniel’s Nutmeg, menggambarkan, belahan timur dunia kala itu sebagai tempat berbahaya, liar dan primitif, wilayah yang perlu dijinakkan, dibuat beradab dan modern. Kekayaan alam luar biasa, membuat ‘timur jauh’ menjadi frontier kolonial untuk ditaklukkan alam dan budayanya.
Pakar sosiologi Andrea Montanari (2011), mengatakan, orang Eropa pertama kali mendapati durian di Malaka, buah ini lantas jadi obyek ilmiah. Menurut Niccolo de Conti, pedagang Italia abad ke-15 yang melakukan perjalanan dari Venesia ke Kerajaan Cham (), rasa durian seperti “keju” saat itu sangat disukai orang-orang barat.
Menurut Montanari, buah berdaging “keju halus” itu menghilang dari meja-meja makan para penguasa kolonial awal abad 17, bahkan disebut sebagai buah menjijikkan, seperti pandangan mereka terhadap penduduk asli yang mereka bilang sulit diatur, dan harus diubah menjadi beradab dan modern.
Meskipun penjajahan sudah usai di pertengahan abad 19, namun mimpi modernitas belum bergeser dari bekas wilayah jajahan. Kehadiran negara melanjutkan ukuran, pandangan, dan praktik yang digunakan barat dalam mengukur kemajuan berdasarkan angka pertumbuhan ekonomi.
Anibal Quijano, cendekiawan Peru menyebut sebagai kuasa kolonialitas, yaitu kondisi di mana administrasi penjajahan sudah pergi, namun logika kolonial terus hadir dalam praktik bernegara. Lewat metafora dari durian, tulisan ini menunjukkan masih kuatnya cengkraman kuasa kolonial (coloniality of power) sekaligus menawarkan kritik dekolonial untuk membangun hubungan sosial ekologis yang lebih adil.