Untitled-1Siaran Pers Hari Anti Tambang 2015, Sembilan tahun lalu, tepatnya 29 Mei 2006, terjadi semburan pertama Lumpur Lapindo yang hingga saat ini telah menenggelamkan 16 Desa di Kabupaten Sidoarjo. Puluhan ribu jiwa dipaksa pindah. Momentum ini dijadikan sebagai bentuk solidaritas korban pertambangan di seluruh Indonesia sebagai Hari Anti Tambang (HATAM).

Lumpur Lapindo adalah fakta monumen pengabaian Negara Terhadap korban pertambangan yang terjadi di seluruh lokasi pertambangan. Jokowi pernah mengatakan dengan lantang di depan ribuan warga korban Semburan Lumpur Lapindo, “Dalam kasus seperti ini, Negara seharusnya hadir sebagai representasi Kedaulatan Rakyat”. Jelas dalam komitmen yang diucapkan Jokowi dalam kampanye Pilpres tersebut, Pemerintahan yang dia pimpin akan hadir berpihak pada rakyat dalam kasus kejahatan korporasi, khususnya korporasi pertambangan.

Namun kenyataannya, dalam tujuh bulan kepemimpinan Jokowi – JK berbagai harapan publik seolah berputar balik. Baru sebulan dilantik, presiden Jokowi dalam pidatonya di KTT APEC (10/11/2014) malah secara vulgar mengobral berbagai proyek demi mengundang investasi besar-besaran di sektor ekstraktif dan infrastruktur. Tentu saja penggenjotan dua sektor ini akan semakin meningkatkan pengerukan Sumberdaya alam dan perusakan ruang hidup masyarakat. Bagaimana tidak, pengerukan sumberdaya secara massif tersebut semakin diakselerasi dengan pengadaan infrastruktur yang semakin memuluskan rantai pasokan komoditas dari wilayah ekstraksi ke kawasan industri.

Dalam kebijakan energi pun pemerintah jokowi – JK semakin jauh dari kata Kedaulatan. Penetapan harga BBM saat ini malah dilepaskan ke mekanisme pasar, walaupun Pemerintah masih malu-malu mengakuinya. Tentu saja ketidak-pastian harga BBM ini akan segera diikuti oleh kenaikan Tarif Dasar Listrik dan LPG. Padahal jelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi 002/PUU-I/2003, melarang pemerintah berkiblat pada mekanisme pasar dan pelaku usaha dalam penetapan harga BBM.

Permasalahan energi di Indonesia tidak hanya soal pengalihan subsidi, tapi juga sejauh mana pengembangan energi bersih dan terbarukan untuk lepas dari ketergantungan energi fosil. Namun hal tersebut malah diabaikan oleh pemerintah jokowi – JK dengan mencanangkan pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW, yang 94% di antaranya bersumber dari energi fosil (Batubara: 20.000 MW, Gas: 13.000 MW).

Apa lagi dalam upaya penegakan hukum lingkungan, masih jauh dari kata “Negara hadir sebagai representasi Kedaulatan Rakyat”. Dalam kasus Lapindo yang hampir genap berusia Sembilan tahun, bukannya menghukum para pelakunya, Pemerintah Jokowi – JK malah memberikan bantuan dana talangan bagi Lapindo sebesar Rp. 781 milyar. Dalam kasus PT. Semen Indonesia di Rembang, Negara jelas tidak berpihak pada keselamatan rakyat dan penyelamatan lingkungan. Bentang Pegunungan Karst kendeng malah diobral atas nama pembangunan dan investasi modal.

Untuk itu, hari ini kami dari berbagai Lembaga Masyarakat Sipil yang peduli dan berjuang atas penyelamatan ruang hidup rakyat, melakukan aksi solidaritas Sembilan Tahun Semburan Lumpur dan menggaungkan Hari Anti Tambang sebagai momen perlawanan warga terhadap daya rusak industri pertambangan.

Dalam aksi ini pemuda-pemuda yang berasal dari Ternate akan melakukan Tari Soya-soya. Tarian soya-soya adalah tarian perang yang berasal dari ternate (Maluku Utara). Tarian ini mengisahkan tentang patriotisme pasukan perang Moloko Kieraha dalam upaya mengusir penjajah dari Moloko Kieraha. Tarian ini menceritakan tentang pencarian mayat sultan khairun, Ayah sultan Babullah, yang di bunuh oleh bangsa portugis di dalam benteng kastela(santo paolo pedro) pada tanggal 25 februari 1570. Pemntasan tarian ini adalah sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan era baru dari sektor pertambangan.

Akhir kata, dengan umur pemerintahan yang masih relatif muda dan sisa masa pemerintahan yang tersisa, seharusnya pemerintahan Jokowi – JK mampu menunjukkan keberpihakannya terhadap keselamatan rakyat. Untuk Itu kami mengingatkan kembali kepada Pemerintahan Jokowi – JK untuk:

1. menegaskan hak veto rakyat atas pengelolaan sumber daya termasuk hak persetujuan untuk menolak pertambangan yang akan merampas sumber dan ruang hidup rakyat.

2. Menghentikan segala bentuk alih fungsi lahan pangan dan hutan untuk kepentingan industri ekstraktif: Tambang, Migas, Perkebunan dan Kehutanan.

3. Mengecualikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari wilayah yang dapat ditambang dan menghentikan seluruh pembuangan limbah tambang ke laut.

4. Menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap masyarakat yang memperjuangkan ruang hidup dan lingkungannya dari daya rusak pertambangan.

5. Segera menyelasikan secara komprehensif dan menyeluruh berbagai kasus kejahatan korporasi, khususnya di sektor industri ekstraktif: Tambang, Migas, Perkebunan dan Kehutanan.

6. Penindakan atas korporasi pelaku Pelanggaran HAM oleh harus bisa menyentuh aspek pelakunya. Serta tidak bisa dikompensasikan dengan ganti rugi semata.

7. Perbaikan tata kelola energi di Indonesia dengan melakukan evaluasi alokasi pemanfaatan energi Nasional. Peningkatkan produksi energi dengan semakin mengeruk energi fosil bukan lah solusi untuk perbaikan tata kelola energi yang lebih baik.

8. Optimalisasi pemanfaatan energi Bersih, Ramah Lingkungan dan Terbarukan yang berbasis pada daya dukung lingkungan dan komunitas. Sehingga rakyat memiliki akses atas energi tanpa dominasi dan monopoli korporasi.

Jakarta, 29 Mei 2015.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRuHA)
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
350.org Indonesia
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA)
Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
Mapala STACIA – Universitas Muhammadiyah Jakarta
Mapala WANATEL – STT Nusantara
Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI)