Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga awal tahun 2018 masih dikepung 309 izin tambang. Dari jumlah tersebut 70 izin yang sudah habis masa berlakunya berpeluang dilelang ulang oleh pemerintah daerah.
Dalam keterangannya kepada Pos Kupang, Rabu (14/3/2018), Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar menjelaskan, sebanyak 309 izin tambang itu tersebar di 17 kabupaten di NTT.
Melky mengatakan, hampir seluruh perusahaan tambang tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Yang terjadi malah merusak hutan dan sumber air, pengelola melakukan intimidasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Fakta semacam ini, lanjut Melky Nahar, belum menjadi perhatian serius para elit politik serta calon kepala daerah yang sedang berkompetisi di ajang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) NTT tahun 2018.
Melky Nahar mengatakan Pilgub NTT tampaknya hanya dimanfaatkan untuk merebut kuasa dan jabatan bagi segelintir elit dan politisi. Bahka ada kecenderungan ditunggangi para pemodal yang bermain di balik setiap kandidat yang berkontestasi demi melanggengkan bisnisnya di NTT.
Hal ini, kata dia, cukup beralasan mengingat Provinsi NTT hingga kini terus dikepung oleh berbagai investasi berbasis lahan skala besar seperti pertambangan dan perkebunan.
Kehadiran pertambangan ini merampas lahan dan merusak hutan, mencemari air dan pesisir pantai, bahkan tak sedikit warga dikriminalisasi hingga berujung dipenjara karena membela tanah dan airnya.
Baca: NTT Dikepung 309 Izin Tambang, Begini Sebarannya
Selain pertambangan, kata Melky Provinsi NTT juga dikepung investasi perkebunan skala besar seperti di Sumba dan Ngada. Di Sumba Timur ada tiga perusahaan masing-masing bergerak di perkebunan tebu, perkebunan pohon sejenis jarak dan tanaman sisal family kaktus. Investasi perkebunan lainnya hadir di Kabupaten Ngada.
“Kami melihat di balik kontestasi Pilgub NTT, para pebisnis ini diduga kuat ikut bermain melalui praktik ijon politik untuk mendapatkan jaminan keamanan dan keberlangsungan investasi mereka di daerah. Salah satu pendekatan yang sudah menjadi pengetahuan umum adalah dengan menunggangi dan mengendalikan para kandidat melalui pembiayaan pencalonan dan kampanye sebagai bagian dari praktik ijon politik. Maka investasi berbasis lahan skala besar seperti pertambangan, perkebunan dan sejenisnya adalah bentuk hubungan saling menguntungkan antara pelaku bisnis dan politisi, mengingat tidak sedkit modal finansial yang dibutuhkan untuk berkontestasi dalam Pilgub,” kata Melky Nahar.
Sebagaimana Laporan Direktorat Litbang KPK pada 2015, lanjut Melky, setidaknya dibutuhkan biaya Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar untuk menjadi Bupati/Walikota, dan untuk menjadi Gubernur bisa mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar. Kebutuhan biaya yang tidak sebanding dengan jumlah kekayaan para kandidat yang ikut berkontestasi.
Melky mengatakan, sebagian besar pesan kampanye keempat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTT tahun 2018 hanya jargon-jargon yang mengacu pada identifikasi masalah yang generik. Tidak mencerminkan realitas krisis yang terjadi seperti yang sedang dialami masyarakat NTT.
“Jika sudah begini, harapan rakyat akan adanya perbaikan kualitas hidup yang dihasilkan oleh proses politik elektoral, tampaknya harus kandas. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari proses politik elektoral kali ini,” tandasnya.
Empat pasangan calon ini, katanya, lebih giat mengumbar janji semisal menyediakan listrik meski kewenangan itu juga ada di Pemerintah Pusat dan programnya sedang dijalankan.
Hal lain, misalnya, menjanjikan pengembangan pariwisata tanpa berani bicara fakta pengembangan pariwisata saat ini yang amburadul, memiskinkan masyarakat lokal, banyak privatisasi wilayah pesisir, ruang hidup nelayan.
Ada juga pasangan calon menjanjikan pembangunan infrastruktur yang jelas-jelas jadi program andalan yang dijalankan rezim yang sedang berkuasa.
Sang calon tidak menjelaskan secara detail ihwal infrastruktur apa yang hendak dibangun, bagaimana cara mendapatkan uang untuk bisa mewujudkannya, termasuk dampak negatif dari pembangunan tersebut.
“Ada lagi yang menjanjikan tolak tambang (hanya dukung pertambangan galian C), padahal ketika berkuasa, rajin obral izin tambang,” ujarnya.
Jatam, kata Melky, terus mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan pertambangan adalah keliru dihadapkan dengan NTT yang mayoritas masyarakat bergantung pada sektor pertanian.
Sumber: Pos Kupang