Kekuatan oligarki dinilai tidak lepas dari lingkaran pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkontestasi dalam Pemilu 2019. Menguatnya oligarki dikhawatirkan hanya memunculkan ijon politik yang ke depannya berdampak kepada pengabaian kepentingan masyarakat akar rumput.
Hal tersebut menjadi salah satu benang merah dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di sebuah kafe di Cikini, Jakarta, Senin 11 Februari 2019. Hadir sebagai narasumber, Koordinator Jatam, Merah Johansyah dan Ketua Bidang Kampanye Lembaga Bantuan Hukum Arief Yogiawan.
Merah Johansyah mengatakan, lingkaran kedua paslon kini tidak terlepas dari peran oligarki, utamanya pengusaha di sektor tambang. Ia mencontohkan, laporan biaya kampanye di Komisi Pemilihan Umum, menunjukkan bahwa sebanyak 86% dari total sumbangan dana kampanye pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin bersumber dari Perkumpulan Golfer TBIG yang diduga adalah PT Tower Bersama Infrastructure Group dan Perkumpulan Golfer TRG yang diduga adalah PT Teknologi Riset Global Investama.
Menurutnya, pendiri kedua perusahaan tersebut Wahyu Sakti Trenggono yang dalam TKN Jokowi-Ma’ruf memegang posisi bendahara. Di TRG, Wahyu menjabat sebagai komisaris sedangkan di TBIG sebagai pemegang saham.
Sementara di kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, kata Merah, paslonnya sendiri merupakan pemain lama dalam sektor tambang dan energi. Prabowo dikatakannya tercatat sebagai pemilik Nusantara Energy Resources yang menaungi 17 anak perusahaan, dimana beberapa di antaranya bergerak di bidang kelapa sawit dan tambang batu bara. Kemudian Sandiaga Uno, jejaknya tercatat pada sejumlah perusahaan tambang, mulai dari Saratoga Group yang terhubung dengan Interra Resources Limited yang bisnisnya di bidang migas.
Selain itu, kubu Prabowo-Sandi juga dikatakanya dikelilingi oleh Hutomo Mandala Putra sebagai pemilik PT Humpuss Group, kemudian Maher Al Gadrie sebagai pemilik PT Kodel Group, dan Hashim Djokohadikusumo yang juga memiliki perusahaan yang bergerak di sektor tambang, seperti PT Batu Hitam Perkasa.
Ijon politik
Menurut Merah, penyelenggara pemilu perlu memperhatikan dana kampanye dari pengusaha tambang karena sokongan dari mereka dikhawatirkan bisa memperlemah upaya meminimalisir efek kerusakan lingkungan akibat kegiatan tambang selama ini. Kedekatan antara pelaku industri tambang dan elit politik pemerintahan dinilainya bisa memunculkan ijon politik.
Fenomena seperti ijon politik terjadi ketika paslon menerima sumbangan dana dari suatu pihak, dalam hal ini pengusaha tambang, dan sebagai imbal baliknya, pengusaha tambang tersebut mendapatkan keuntungan berupa pengamanan bisnisnya di kemudian hari.
“Keterkaitan dan keterlibatan langsung dalam bisnis tambang, hingga sumber dana kampanye dari kedua pasangan calon yang sebagiannya sama-sama berasal dari industri tambang, menunjukkan betapa Pemilu 2019 sangat kental dengan kepentingan tambang,” ujarnya.
Berkaca dari kondisi tersebut, Merah menambahkan, pihaknya pesimistis bila debat Pilpres pada 17 Februari 2019 bisa memunculkan isu-isu yang substansial mengenai persoalan lingkungan hidup dan energi. Ia mencontohkan salah satu isu debat yang kerap muncul dari tahun sebelumnya adalah penertiban penambangan liar. Menurutnya, persoalan itu tidak akan substansial bila tidak menyentuh pihak-pihak yang membekingi penambangan liar tersebut.
“Problem sesungguhnya tidak mungkin diberantas kalau tidak bicara beking di belakang oligarki. Di Indonesia, yang jadi masalah, bukan hanya penambangan liar, tapi tambang yang sah secara legal juga ikut berkontribusi kepada penghancuran alam,” tuturnya.
Merah mengatakan, bila berkaca pada kondisi oligarki tersebut, harapan masyarakat di daerah lingkar tambang untuk bisa keluar dari krisis dan masalah masih jauh panggang dari api. “Siapapun yang menang dalam Pemilu 2019, rakyat tetap berada di pihak yang kalah, menanggung risiko akibat praktik eksploitatif sedangkan pebisnis tambang, berikut elit politik terkait, tetap menang, melanjutkan ekstraksi untuk keuntungan diri dan kelompok mereka,” tuturnya.
Ketua Bidang Kampanye Lembaga Bantuan Hukum Arief Yogiawan mengatakan, banyak pihak kini menginginkan adanya penyelamatan lingkungan. Namun perlu dipertanyakan apakah penyelamatan lingkungan menjadi sesuatu yang sakral bagi pemerintah maupun politisi di parlemen. Pasalnya, hari ini masih banyak dijumpai adanya kebijakan yang mengingkari hak rakyat dan demokrasi.
“Informasi mengenai lingkaran kedua paslon penting untuk disampaikan kepada masyarakat sehingga kemudian rakyat tidak hanya memilih saja dalam pemilu. Tapi, rakyat juga mengetahui siapa yang akan dipilih sebagai wakilnya dalam pemerintahan,” ujar dia.
Peran penting tambang
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Johnny G. Plate mengatakan, secara prinsip pihaknya menyetujui Jatam, bahwa diperlukan adanya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan terkait pertambangan dengan tidak mengorbankan hak-hak masyarakat. Meskipun, secara penafsiran, dalam hal pengelolaan tambang, bisa jadi berbeda antara pihaknya dengan Jatam.
Menurutnya, Jokowi selama ini telah melakukan kebijakan di bidang pertambangan untuk kepentingan nasional, seperti menaikkan kepemilikan saham nasional untuk Freeport, kemudian juga mengambil alih Blok Rokan melalui BUMN. Menurut Plate, kubunya tidak menampik ada peran penting pengusaha tambang. Namun yang lebih penting adalah kepentingan pengusaha tambang tersebut bukan untuk kepentingan pribadi, namun untuk kepentingan yang lebih luas, yakni kepentingan bangsa dan nasional.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, ketika dimintai tanggapannya mengenai pernyataan Jatam, mempersilahkan bila Jatam mengeluarkan data mengenai kepentingan oligarki di lingkup kubu Prabowo-Sandi. Namun, yang perlu diperhatikan, menurutnya, adalah bahwa dana kampanye yang ada di kubunya tidaklah sebesar kubu Jokowi-Ma’ruf. “Kampanye saja kami megap-megap, beda dengan kubu Jokowi-Ma’ruf,” katanya.
Sumber: Pikiran Rakyat