Revisi Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) yang berbagai pasalnya memproteksi koruptor, mengriminalisasi warga serta mempertaruhkan keselamatan manusia dan alam sedang dibahas oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pada 2019, Jokowi telah menghimbau agar pembahasan RUU Minerba ditunda dulu. Akan tetapi, pembahasan RUU Minerba kini dilanjutkan kembali di bawah Panitia Kerja yang baru dibentuk sejak pertengahan Februari lalu. Panitia Kerja ini terdiri dari anggota DPR dan pemerintah yang kini ditugaskan untuk mendorong pengesahan RUU Minerba.
RUU Minerba banyak dikritik karena mendorong eskpansi industri pertambangan batu bara, serta memberikan ancaman besar terhadap manusia dan alam. Penolakan RUU Minerba adalah salah satu tuntutan utama dari aksi protes mahasiswa, buruh dan rakyat Indonesia lainnya dalam gerakan massa menolak berbagai revisi dan rancangan undang-undang (antara lain revisi UU Minerba, revisi UU KPK, Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Rancangan UU Pertanahan) yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia pada akhir September lalu, di penghujung masa jabatan DPR RI 2014-2019 yang berakhir pada 30 September 2019.
Walaupun aksi protes massif terjadi di berbagai wilayah, Kementerian Energi dan Sumber Daya Minerba (ESDM) pada 25 September 2019 menjelang tengah malam menyerahkan 938 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba kepada DPR RI, yang menegaskan bahwa pembahasan RUU Minerba bisa dimulai. Namun, dengan tekanan publik yang begitu besar, presiden akhirnya memerintahkan penundaan pembahasan RUU ini dan akhirnya DPR dengan terpaksa menunda pengesahan RUU Minerba. Sayangnya, RUU KPK berhasil lolos dan disahkan beberapa minggu sebelumnya oleh DPR RI.
Sebanyak 55 persen anggota DPR RI periode 2019-2024 merupakan petahana dan berpotensi besar untuk melanjutkan warisan periode sebelumnya. Terdapat 703 permasalahan dalam DIM RUU Minerba yang telah disepakati sebelum rapat Panitia Kerja pada minggu lalu. Total 235 poin perubahan telah disetujui oleh para anggota Panitia Kerja. Meskipun saat ini masih dalam pembahasan Panitia Kerja, namun tidak ada perubahan signifikan dalam RUU Minerba sejak protes massa di penghujung September lalu.
Perkembangan RUU Minerba telah memantik pertanyaan terkait komitmen Jokowi dalam memperbaiki masalah-masalah yang melatarbelakangi aksi protes massa pada akhir 2019 lalu. Suksesnya kampanye Jokowi hingga dia terpilih lagi tidak luput dari pembiayaan perusahaan-perushaan tambang besar yang kontrak akan segera habis di periode Jokowi yang kedua ini. Salah satu perubahan dalam RUU Minerba adalah dijanjikannya kemudahan perpanjangan izin pertambangan, terutama untuk perusahaan yang berstatus Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Sebagai bentuk timbal balik dari pembiayaan kampanye Pilpres 2019 lalu, Jokowi sangat berpotensi untuk ditekan agar segera mengesahkan RUU Minerba ini.
Melayani Industri
Lebih dari 90 persen isi RUU Minerba melayani kepentingan bisnis dan investor indusstri pertambangan – dengan dipermudahnya proses perizinan, memberikan kepastian bisnis jangka panjang, dan mengurangi risiko serta tanggung jawab industri. Perubahan-perubahan tersebut memberikan kabar baik untuk 25 perusahaan pertambangan yang akan segera habis masa berlakunya sampai 2025 – tujuh di antaranya adalah nama-nama besar industri pertambangan: Kaltim Prima Coal, Adaro, Berau Coal, Arutmin Indonesia, Kideco Jaya Agung, Multi Harapan Utama, dan Tanito Harum.
Perubahan utama yang akan terjadi adalah perusahaan berhak untuk mendapatkan perpanjangan izin tanpa melalui proses penawaran konsesi mereka ke BUMN terlebih dahulu, sebagaimana yang diatur dalam UU Minerba 2009. Revisi UU Minerba juga memperbolehkan perusahaan untuk memperpanjang izin mereka hingga dua kali lagi dan masing-masingnya diberikan waktu 10 tahun, memberikan kepastian bagi perusahaan untuk terus mengeruk selama beberapa dekade.
Area konsesi menjadi tidak terbatas – RUU memperbolehkan perusahaan untuk memiliki lebih dari satu izin usaha pertambangan (IUP) di satu provinsi untuk komoditas yang sama, artinya adalah perusahaan bisa menggabungkan beberapa konsesi mereka menjadi satu wilayah yang besar di bawah beberapa izin.
Usaha pertambangan rakyat juga mendapatkan keuntungan dari dipermudahnya proses untuk mendapatkan perizinan untuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Akan tetapi, izin-izin ini adalah ladang korupsi bagi pejabat-pejabat lokal dan aparat keamanan. Faktanya terdapat celah bagi perusahaan untuk memanfaatkan izin usaha pertambangan rakyat. Skema ini jauh memudahkan perusahan untuk menghindari kewajiban sosial, lingkungan dan keuangan, dibandingkan melalui sistem izin usaha pertambangan biasa.
Kendati adanya risko tersebut, ketentuan untuk menghukum pejabat yang terlibat dalam pemberian dan pelanggengan izin-izin bermasalah dalam UU Minerba 2009 justru dihapus dalam RUU Minerba. Penghapusan pasal ini merupakan perlindungan legal terhadap pejabat korup. Tidak heran jika banyak perusahaan batu bara turut mendorong RUU Minerba untuk segera disahkan.
Ancaman bagi komunitas
Beberapa perubahan yang diusulkan dalam RUU Minerba juga mengancam hak dan kehidupan warga terdampak. Akan tetapi, DIM yang dibahas oleh Panitia Kerja minggu lalu tersebut, disusun dalam diskusi terbatas dengan pengusaha dan beberapa kelompok akademisi. Diskusi ini tidak melibatkan masukan dari warga, masyarakat adat, atau masyarakat sipil.
Warga terdampak pun khawatir dengan pasal-pasal yang ada dalam RUU Minerba karena mengubah skema rehabilitasi situs pertambangan. Dalam naskah RUU Minerba, kewajiban perusahaan untuk mengubah kembali situs pertambangan seperti sedia kala dihapuskan, termasuk kewajiban untuk mengisi kembali lubang-lubang tambang yang telah dikeruk hingga beberapa kilometer ke bawah. RUU Minerba justru menawarkan pilihan agar lubang-lubang tambang untuk perairan sawah (irigasi), perikanan atau pariwisata.
Faktanya, lubang-lubang tambang telah mengancam keselamatan warga dan telah membunuh anak-anak sekitar. Walaupun bertentangan dengan UU Minerba 2009, faktanya sebanyak 3.033 lubang tambang ditinggalkan begitu saja di seluruh Indonesia. Sepanjang 2014-2018, lubang-lubang tambang yang ditinggalkan telah membunuh 140 nyawa – banyak di antaranya anak-anak, yang tenggelam dalam kolam bekas lubang tambang.
Kendati demikian, RUU Minerba justru semakin mempersempit ruang bagi warga –terutama warga lingkar pertambangan– untuk didengar suaranya. Ketika sanksi yang dapat menjerat pejabat-pejabat korup telah dihapuskan dalam naskah RUU, sanksi berupa denda dan penjara justru ditambahkan untuk siapa saja yang menghalangi aktivitas perusahaan yang telah mengantongi izin. Pasal-pasal yang dihapus dan ditambahkan ini menunjukkan bahwa hak veto rakyat untuk menolak aktivitas pertambangan di wilayah mereka turut serta dihapus.
Perubahan-perubahan dalam naskah RUU Minerba juga menghapuskan hak-hak warga dan memperluas peluang untuk mengkriminalisasi siapa pun yang menolak pertambangan.
Mengakselerasi kerusakan lingkungan
RUU Minerba mendorong pembangunan ekonomi melalui industri ekstraktif, tanpa menghitung ongkos-ongkosnya terhadap manusia dan alam. Ekspansi industri ekstraktif akan mengakselerasi perusakan sumber-sumber daya alam dan merampas ruang hidup warga.
Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur, merupakan pusat dari ledakan pertambangan batu bara di Indonesia. Deforestasi serta rusaknya lahan akibat aktivitas pertambangan di lingkar pertambangan mengakibatkan adanya peningkatan limpasan air hujan, tanah longsor dan banjir yang mematikan. Dari 2009-2014, Kota Samarinda mengalami bajir sebanyak 150 kali. Akan tetapi, pengalaman yang terjadi di Samarinda ini tidak dijadikan pertimbangan dalam menyusun perubahan naskah Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana maupun untuk mengurangi daya rusak pertambangan.
Batu bara, sebagai komoditas, mendapatkan keistimewaan dalam naskah RUU Minerba. Keistimewaan ini berbeda dengan pernyataan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap batu bara sebagai sumber energi. Pada 2018. Bauran energi nasional masih didominasi batu bara yakni sebesar 60 persen. Artinya, jalan menuju keadilan energi serta untuk meninggalkan batu bara masih jauh dari harapan.
Selain itu, komitmen-komitmen internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memenuhi target dalam memerangi krisis iklim menjadi sia-sia jika RUU Minerba disahkan.
Saat ini, pembahasan tentang RUU Minerba tetap dilanjutkan oleh DPR RI, dan warga Indonesia (terutama yang terdampak oleh pertambangan) tidak diberikan kesempatan untuk bersuara mengenai isi dari RUU Minerba. Presiden Jokowi harus ditekan kembali oleh publik agar menghentikan proses legislasi RUU Minerba yang berbahaya ini, serta tidak lagi memberikan jalan mulus untuk perusahaan-perusahaan pertambangan.
Alwiya Shabanu | Kepala Divisi Riset dan Database JATAM
Merah Johansyah | Koordinator JATAM
Versi bahasa Inggris tulisan ini telah muat di Indonesia at Melbourne