Aktivitas pertambangan di Indonesia masif. Sekitar 44 persen dari luas total daratan Indonesia dikuasai izin pertambangan. Padahal, sektor pertambangan tidak bisa jadi sandaran kesejahteraan masyarakat, terutama yang ada di sekitar tambang.

Hal itu mengemuka pada diskusi memperingati Hari Anti Tambang yang diprakarsai Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam C’mara Buana Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, di Jakarta, Senin (29/5) sore.

Kepala Simpul Belajar Jaringan Advokasi Tambang Ki Bagus Hadi Kusuma mengatakan, sektor pertambangan rapuh jika jadi basis ekonomi masyarakat. “Tingkat kemiskinan di area pertambangan tinggi,” ujarnya.

Sektor pertambangan dinilai tak bisa diandalkan karena hasil tambang termasuk sumber daya alam tak bisa diperbaharui. “Masyarakat dan pemerintah sebaiknya beralih dari industri pertambangan sebagai basis ekonomi dan energi,” ujarnya.

Menurut kajian Komisi Pemberantasan Korupsi, kata Bagus, sekitar 6.000 izin pertambangan di Indonesia bermasalah atau berstatus non clean and clear, sebagian besar tak punya nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan tak bayar pajak, serta tak memiliki jaminan reklamasi pasca-tambang.

Selain itu, regulasi sektor pertambangan dinilai cenderung berpihak pada korporasi. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, masyarakat tak dilibatkan dalam menetapkan kawasan tambang.
Komoditas Batubara

Cadangan batubara Indonesia diperkirakan habis dalam 35-60 tahun ke depan jika dipakai untuk memenuhi pasokan listrik. Pada proyek listrik 35.000 megawatt (MW), sebagian besar ialah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. “Perlu mencari alternatif agar tak bergantung industri tak berkelanjutan dan tidak ramah lingkungan,” ujarnya.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menambahkan, 60 persen energi listrik di Indonesia dari PLTU. Padahal PLTU batubara memicu polusi. “Soal tambang batubara terkait regulasi, perizinan, penambangan, serta menimbulkan polusi udara,” katanya. (Dds)

Sumber : Kompas