Pilkada Serentak di 270 daerah hari ini, termasuk Provinsi Sulawesi Tengah bukan menjadi momentum penting untuk tersedianya jaminan penyelesaian  atas sejumlah persoalan pelik masyarakat di daerah lingkar tambang.

Provinsi Sulawesi Tengah, misalnya, telah lama banyak dibebankan izin-izin tambang, hampir tersebar di semua kabupaten/kota. Izin-izin tambang yang sebagian besar diterbitkan pemeritah daerah itu, terutama masa ketika UU Minerba No 4 Tahun 2009 berlaku — kini telah diganti menjadi UU No 3 Tahun 2020 — berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan.

Kondisi itu, diperparah dengan pengesahan UU Minerba No 3 Tahun 2020 dan UU Cipta Kerja No 11 tahun 2020, dua produk huku yang alih-alih dibuat untuk menyelesaikan persoalan yang telah ada di masyarakat, justru memudahkan pelaku bisnis dalam memperluas dan mengamankan bisnisnya di daerah. Lebih jauh, dua undang-undang yang dibahas di tengah pandemi COVID-19 dan ditentang jutaan rakyat, itu, mengamputasi sejumlah kewenangan strategis daerah, yang salah satunya terkait kewenangan penerbitan dan pencabutan izin tambang.

Dengan demikian, harapan rakyat untuk Pilkada 2020 bisa menghasilkan kepala daerah yang bisa menjawabi tuntuan masyarakat, justru jauh panggang dari api. Pilkada 2020 tampak hanya untuk memilih calon operator undang-undang Cipta Kerja di daerah yang, semuanya berujung pada tersedianya jaminan dalam melanggengkan usaha para pebisnis.

Potret Krisis

Tambang

Di Sulawesi Tengah, total izin usaha pertambangan mencapai 135 IUP, sebanyak 28 izin dalam tahapan eksplorasi dan 107 izin lainnya sudah dalam tahap operasi produksi. Tambang nikel tersebar di tiga kabupaten, antara lain Kabupaten Morowali (37 IUP), Kabupaten Morowali Utara (21 IUP), dan Kabupaten Banggai (20 IUP). Selain tiga kabupaten itu, di Kabupaten Tojo Una-Una juga terdapat 2 izin tambang.

Total konsesi tambang dari seluruh izin di Sulawesi Tengah mencapai 214. 076. 33 ha. Di antara jumlah izin tambang yang banyak itu, sebanyak 15 perusahaan tambang beraktivitas dalam kawasan hutan yang, luasannya mencapai 16.000 Ha. berikut nama-nama perusahaanya

  1. Bintang Delapan Mineral di Kabupaten Morowali dengan luas 1.206 Ha yang berakhir pada tahun 2023
  2. Bintang Delapan Mineral Blok di Kabupaten Morowali dengan luas 127 Ha yang berakhir pada tahun 2025
  3. Sulawesi Resources  Kabupaten Morowali dengan luas 661 Ha yang berakhir pada tahun 2025
  4. Hengjaya Mineralindo Kabupaten Morowali dengan luas 851 Ha yang berakhir pada tahun 2031
  5. Mulia Pacific Resources Kabupaten Morowali Utara 659 Ha yang berakhir pada tahun 2024
  6. Bukit Makmur Istindo Nikeltama Kabupaten Morowali dengan luas  995 Ha  yang berakhir pada tahun 2030
  7. Itamatra Nusantara Kabupaten Morowali Utara dengan luas 455 Ha yang berakhir pada tahun 2022
  8. Bintang Delapan Mineral (Blok VIII) Kabupaten Morowali dengan luas 745 yang berakhir pada tahun 2025
  9. Bumi Morowali Utama Kabupaten Morowali dengan luas  993 Ha, berakhir pada tahun 2026
  10. Keinz Ventura Kabupaten Morowali Utara dengan luas 355 Ha berakhir pada tahun 2022
  11. Hengjaya Mineralindo Kabupaten Morowali dengan luas 994 Ha berakhir pada tahun 2031
  12. Bintang Delapan Mineral ( Blok IV) Kabupaten Morowali dengan luas 296 Ha berakhir pada tahun 2025
  13. Indoberkah Jaya Mandiri Kabupaten Morowali dengan luas 185 Ha, berakhir pada tahun 2034
  14. Mahligai Artha Sejahtera Kabupaten Morowali dengan luas 119 Ha, berakhir pada tahun 2022
  15. Bintang Sinar Perkasa Kabupaten Morowali dengan luas 38 Ha, berakhir pada tahun 2036.

Tambang di Kawasan Bencana

Berdasarkan data yang dimiliki oleh JATAM  Sulteng, terdapat 39 IUP operasi produksi untuk Izin pertambangan pasir, batu, dan kerikil yang berada di Kota Palu diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, satu Kontrak Karya yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral untuk PT Citra Palu Mineral (PT CPM), anak usaha Bumi Resources,  dengan komoditas emas di Kecamatan Palu Timur sebelum dimekarkan menjadi Kecamatan Mantikulore pada tahun 2012, diduga berada dalam kawasan rawan bencana seperti yang dijelaskan Perda Tata Ruang Kota Palu.

Berikut beberapa hasil temuan Jatam Sulteng terkait penerbitan izin tambang yang akan menimbulkan potensi bencana;

  1. Penerbitan 39 Izin Usaha Pertambangan untuk kegiatan pertambangan pasir, batu dan kerikil, yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, semua berada di Kecamatan Palu Barat sebelum dimekarkan menjadi Kecamatan Ulujadi. Dalam Perda RTRW Kota Palu, Nomor 16 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu Tahun 2010- 2030, Kecamatan Ulujadi sendiri sebelum berpisah dari Kecamatan Palu Barat ditetapkan sebagai wilayah kawasan rawan bencana tanah longsor.
  2. Ancaman bencana alam juga mengintai masyarakat Kecamatan Mantikolere yang sebelumnya bergabung dengan Kecamatan Palu Timur, sebelum dibentuk kecamatan sendiri pada tahun 2012. Khususnya Kelurahan Poboya setelah diterbitkannya Peningkatan IUP Operasi Produksi PT Citra Palu Mineral oleh Kementerian ESDM Republik Indonesia dengan  Nomor 422.K/30.DJB/2017. Karena penerbitan IUP OP untuk PT Citra Palu Mineral yang ternyata juga diduga bertentangan dengan Perda RTRW Kota Palu. Dalam Perda RTRW menyebutkan bahwa Kecamatan Mantikulore juga masuk dalam kawasan rawan bencana tanah longsor.
  3. Rencana Pembuangan Tailing

Rencana pembuangan limbah tailing ke laut dalam, mengancam perairan Morowali yang termasuk dalam coral triangle, yaitu kawasan perairan di barat Samudara Pasifik, termasuk Indonesia yang mengandung keragaman spesies yang sangat tinggi (hampir 600 spesies terumbu karang) dan menjadi penopang biota laut di sekitarnya.

Setidaknya ada 3 ribu hektare terumbu karang di bawah Laut Morowali, khususnya ±710 hektare di Kecamatan Bahodopi. Pada tahun 2018, Morowali menjadi produsen perikanan laut tangkap tertinggi di Sulawesi Tengah dengan 34,12 kiloton, atau setara Rp 678,9 miliar.

Ekosistem sekaya ini, menjadi habitat bagi banyak biota laut, termasuk ikan yang ditangkap nelayan. Lokasi rencana perairan pipah bawah laut untuk penempatan tailing di Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali yang direncanakan PT Hua Pioneer Indonesia ini tidak diatur dalam Perda Sulteng tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWPK3) 10/2017, sebagaimana tertuang pada Pasal 31 ayat (3).

Potret ancaman krisis ekologi yang akan terjadi di sulteng yang akan diakibatkan eksploitasi tambang, tidak muncul dalam pesan-pesan kampanye. Prosedur demokrasi yang berlangsung di Pilkada Sulawesi Tengah, masih terputus dari harapan rakyat untuk terbebas dari ancaman krisis, yang hanya akan menjembatani kepentingan segelintir orang. Bukan hanya itu,  pemenang pilkada tahun ini juga patut kita curigai hanya sebagai operator pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan, indikasi ini diperkuat dengan para partai pengusung dan pendukung yang  ikut dalam proses pembahasan UU Cipta kerja sampai dengan pengesahaanya, yang juga  mendukung para kandidat  maju dalam kontestasi Pilkada 2020 di Sulteng.

Rekam Jejak Paslon dan Tim Kampanye

Lalu bagaimana dengan para kandidat yang berkontestasi di pemilihan  Calon Gubernur dan  Calon Wakil Gubernur Sulawesi Tengah? Dua pasangan calon yang berkontetasi ini, tampak mengandalkan tambang sebagai salah satu sektor untuk mengejar pendapatan daerah. Paslon Hidayat Lamakarate – Bartomoleus Tandigala, misalnya, berjanji untuk memudahkan izin tambang bagi masyarkat.  Sementara Paslon Rusdy Mastura – Ma’ mun Amir, menganggap jika pengelolaan pertambangan emas merupakan salah satu strategi meningkatkan perekonomian warga.

Dua pasangan calon itu, dengan gampang dan tanpa beban hendak terus mengeksploitasi kekayaan alam, tanpa memikirkan daya rusak yang sudah dan tengah terjadi, apalagi Sulawesi Tengah adalah wilayah rawan bencana. Lebih jauh, mendorong pengerukan kekayaan alam dari dua kontestan di atas, mempertaruhkan keberlanjutan sektor-sektor penghidupan lainnya yang, merupakan ruang produksi masyarakat, semisal lahan-lahan pertanian dan sumber air, serta laut sebagai wilayah tangkap nelayan.

Lalu, bagaimana dengan Tim Kampanye kedua kontestan?

Jika membaca daftar nama tim kampanye kedua pasangan calon, sebagian di antaranya terhubung secara langsung dan tidak langsung dengan bisnis pertambangan.

Pasangan Hidayat Lamakarate – Bartomoleus Tandigala, misalnya, ada nama Longki Djanggola. Longki yang sedang menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Tengah, merupakan Ketua DPD Partai Gerindra. Dalam struktur tim kampanye Paslon Hidayat Lamakarate – Bartomoleus Tandigala, Longki menjadi penasehat, sekaligus juru kampanye provinsi. Longki diduga menerbitkan izin tambang Operasi Produksi untuk PT. Trio Kencana pada Agustus 2020.

Sedangkan, pasangan Rusdy Mastura – Ma’mun Amir, terdapat nama Ahmad Ali sebagai Ketua Dewan Penasehat sekaligus Anggoota Juru Kampanye. Ahmad Ali yang merupakan Wakil Ketua Partai NasDem dan dikenal sebagai pengusaha di Sulawesi Tengah, tercatat memimpin PT. Graha Mining Utama. PT. Graha Agro Utama, PT. Graha Istika Utama, dan PT. PT. Tadulako Dirgantara Travel.

Menurut laporan Majalah Tempo, Graha Istika Utama adalah perusahaan tambang yang mengolah batu gamping, beroprasi di Desa Tudua, Morowali. Hingga kini masi berpolemik karena diduga merusak  sumber air dan cagar budaya di daerah tersebut.

Ahmad Ali juga di duga tercatat sebagai Direktur PT. Oti Eya Jaya Abadi Perusahaan Tambang nikel Desa lele, Dampala dan Siumbatu. Perusahaan ini diduga sebagai salah satu pemasok ore nikel ke PT. IMIP.

Melihat ancaman krisis ekologi yang nyata, dan berpotensi semakin tak terbendung pasca UU Minerba dan UU Cipta Kerja disahkan, berikut relasi elit lokal dan nasional dengan bisnis industri ekstraktif, maka pesta elektoral seperti Pilkada yang berlangsung hari ini tampak tidak menjawabi seluruh persoalan rakyat.

Rakyat Sulawesi Tengah hanya dijadikan sebagai sumber suara bagi kontestasi pemilihan elektoral, sebab, sedari awal demokrasi ini memang tengah dikendalikan oligarki.