Pasca Pemilihan Presiden – Wakil Presiden dan Pemilihan Anggota Legislatif pada April 2019 lalu, Indonesia kembali memasuki tahun politik, yakni Pilkada Serentak pada 9 Desember 2020.
Dari 270 daerah yang menggelar Pilkada Serentak 2020 itu, sebanyak 229 daerah di antaranya merupakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang, tak terlepas dari sejumlah masalah, terutama terkait ekspansi industri ekstraktif, mulai dari industri pertambangan dan migas, industri kehutanan dan kelapa sawit, industri pariwisata, hingga proyek reklamasi.
Aktivitas dari sejumlah industri tersebut, telah menimbulkan daya rusak yang parah: daratan, pesisir, dan laut serta sumber air dan pangan warga dihancurkan dan tercemar limbah tambang, bahkan tak sedikit warga tersingkir dari kampung – ruang hidupnya, kualitas lingkungan dan kesehatan warga terus merosot, berikut sejumlah warga yang berjuang menyelamatkan ruang hidup dan hak atas tanah – airnya mengalami kekerasan dan kriminalisasi, hingga ada yang berakhir di jeruji besi, sebagiannya lagi kehilangan nyawa.
Lantas, apakah Pilkada Serentak 2020 menghasilkan kepala daerah yang mampu mengatasi sejumlah persoalan di atas? Ataukah, justru semakin memperparah kerusakan yang telah ada, sebab, selain terdapat kepentingan oligarki di balik setiap pasangan calon, juga akibat telah disahkannya UU Minerba No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan keistimewaan bagi perluasan investasi korporasi?
Telah menjadi rahasia umum, bahwa pesta elektoral seperti pilkada menjadi ajang perebutan kuasa dan jabatan bagi para elit politik dan pebisnis untuk mendapat kepastian dan jaminan hukum bagi kenyamanan dan perluasan bisnis mereka di berbagai daerah.
Laporan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Litbang KPK) berjudul ”Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015” memaparkan, biaya yang dibutuhkan untuk menjadi wali kota/bupati mencapai Rp 20 – 30 miliar, sedangkan untuk gubernur bisa Rp 20 – Rp 100 miliar.
Selanjutnya, Laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menunjukkan total harta kekayaan calon kepala daerah pada 2015 rata-rata hanya Rp 6,7 miliar.
Survei KPK pada 2018, juga menemukan bahwa 83,8 persen calon berjanji akan memenuhi harapan donatur ketika calon memenangkan Pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan para calon kepala daerah ternyata tak sebanding dengan kebutuhan biaya sangat besar untuk ikut kontestasi pilkada langsung. Karena itu, untuk menutupi kebutuhan biaya itu para kandidat harus giat mencari sponsor.
Sumbangan donatur, sebagai pengusaha tersebut, memiliki konsekuensi pada keinginan donatur untuk mendapatkan kemudahan perizinan dalam menjalankan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnis.
Lantas, apakah fenomena di atas juga terjadi di tengah hiruk-pikuk Pilkada Konawe Kepulauan atau Pulau Wawonii?
Pertanyaan ini yang menjadi pemandu dalam penyusunan laporan pendek ini.
Laporan ini terbagi ke dalam beberapa bagian: [1] Potret Krisis Pulau Wawonii, [2] Aktor di Balik Perusahaan Tambang di Pulau Wawonii, [3] Rekam Jejak Pasangan Calon, dan [4] Rekam Jejak Tim Pemenangan Pasangan Calon.
Seluruh informasi yang tersaji dalam laporan ini bersumber dari data-data dan dokumen resmi pemerintah, dokumen perusahaan, wawancara warga, berita media massa, dan catatan lapangan selama dua tahun melakukan advokasi di Pulau Wawonii.
