“Mendesak Presiden Jokowi Segera Moratorium Izin-izin SDA dan Meminta KPK Mengusut Tuntas Korupsi SDA yang Menjadi Sumber Bancakan di Tahun Politik”

Kami yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat, kelompok perempuan, organisasi lingkungan hidup dan organisasi anti korupsi yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.
Di momentum tahun-tahun politik ini, kita berhadapan dengan kondisi di mana laju perusakan sosial-ekologis semakin massif akibat praktik korupsi yang menjadi salah satu sumber pembiayaan politik para politisi yang berkontestasi di politik elektoral, mulai dari Pilkada Serentak 2018 hingga Pemilu 2019. Sebut saja kasus korupsi Rita Widyasari di Kutai Kartanegara, Nur Alam di Sulawesi Tenggara, Marianus Sae di Nusa Tenggara Timur, Adriansyah di Kabupaten tanah Laut Kalimantan Selatan, Aswad Sulaiman di Konawe Utara, yang diduga menjadi sumber pembiayaan elektoral.
Kasus-kasus yang melibatkan para kepala daerah tersebut bagai fenomena puncak gunung es korupsi di sektor sumber daya alam. Bagaimana tidak, sudah terdapat 326 kepala daerah, politisi dan pucuk birokrasi sejak 2010 hingga 2017 menjadi tersangka korupsi dan diproses hukum oleh KPK. Masih terdapat banyak potensi korupsi lainnya dalam setiap rantai proses industri ekstraktif. Dalam hal perizinan tambang, misalnya, JATAM mencatat hingga Januari 2018 masih terdapat 8.710 izin tambang di Indonesia yang sarat akan masalah dan pelanggaran, mulai dari tumpang tindih kawasan, masuk kawasan hutan lindung dan konservasi, tidak membayar pajak dan royalty, bahkan tidak memiliki NPWP.
Obral izin eksploitasi sumberdaya alam dan pembiaran pelanggaran hukum ini potensial dimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan pragmatis politisi dan pelaku bisnis tertentu yang terlibat dalam praktik ijon politik. Pada akhirnya, pesta elektoral yang seyogianya bertujuan untuk membawa kesejahteraan rakyat, justru hanya dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan dan investasi berbasis lahan skala luas tanpa membahas urusan keselamatan rakyat dan ruang hidupnya.
JATAM juga menemukan terdapat 171 izin tambang diobral sepanjang tahun politik 2017-2018 bahkan hingga mendekati penetapan masa calon pilkada maret 2018 lalu. Sebanyak 120 izin diobral di Jawa tengah, 34 izin diobral di Jawa Barat, lalu diikuti oleh izin-izin tambang yang terbit di Lampung, Sumsel, Dairi hingga NTT.
Kongkalikong politisi dan pelaku industri berbasis lahan skala luas dalam praktik ijon politik ini mengantarkan masyarakat untuk berhadapan langsung dengan berbagai problem, mulai dari penggusuran lahan, perampasan wilayah adat, kriminalisasi, krisis pangan dan air, ancaman kesehatan, tindakan kekerasan aparat Negara dan lain-lain.
Atas fakta-fakta ini, kami menyerukan, sekaligus merekomendasikan beberapa hal berikut:
  1. Segera moratorium, evaluasi dan hentikan penerbitan izin industri ekstraktif dan industri berbasis lahan skala luas lainnya, yang didasari pada pertimbangan daya dukung, daya tampung dan daya pulih alam yang berada di wilayah kelola rakyat, termasuk di wilayah masyarakat adat terutama menjelang momentum tahun politik sehingga tidak dijadikan bancakan politik.
  2. Mendorong penghitungan kerusakan lingkungan hidup diadopsi sebagai kerugian Negara seperti yang telah didorong dalam kasus korupsi perizinan tambang dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Nur Alam di Sulawesi Tenggara.
  3. Meminta Presiden untuk memerintahkan kementerian terkait guna menagih piutang dan kewajiban perusahaan-perusahaan SDA terhadap Negara.
  4. Mendukung upaya Komisi KPK melakukan pemberantasan korupsi sumberdaya alam di tahun politik. Sekaligus meminta KPK memprioritaskan pemberantasan korupsi sumberdaya alam yang terjadi di wilayah masyarakat adat.
  5. Mendukung dan bersolidaritas menolak kriminalisasi para ahli, akademisi, dan pakar penghitungan kerugian lingkungan hidup sebagai kerugian Negara. Salah satunya yang sedang dialami oleh Dr. Basuki Wasis, seorang ahli yang berkontribusi mendorong keselamatan lingkungan dengan menghitung kerugian lingkungan hidup dalam Kasus Korupsi Tambang yang dilakukan oleh Nur Alam, Gubernur Sultra yang merugikan Negara dan lingkungan hingga 4,3 triliun rupiah.
  6. Bersama-sama menolak penyelenggaraan politik elektoral mulai Pilkada, Pileg hingga Pilpres yang tidak menjamin keselamatan rakyat, lingkungan hidup dan tidak mengakomodasi perjuangan untuk memastikan kedaulatan masyarakat adat dan perempuan.
Demikian pernyataan sikap bersama ini dibuat dan disampaikan oleh kami yang berketerangan di bawah ini.

JATAM Nasional, PB AMAN, JPIC OFM Indonesia, JATAM Kalimantan Timur, JATAM Kalimantan Utara, Gerakan Anti Korupsi Aceh, Indonesian Corruption Watch (ICW), Jaringan Masyarakat Peduli pegunungan Kendeng (JMPPK), PPMAN, Yayasan Kanopi Bengkulu, WALHI Bengkulu, WALHI Jawa Barat, WALHI Sulawesi Tenggara, WALHI Sumatera Selatan, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Perempuan AMAN, PD AMAN Indragiri Hulu, PD AMAN Seko, PW AMAN Maluku Utara, PD AMAN Sorong, PD AMAN Banten Kidul, PW AMAN Jambi, PW AMAN Maluku, PW AMAN Kalbar, PW AMAN Kaltim, PW AMAN Kalsel, PW AMAN Nusabunga (NTT), PD AMAN Malinau, PD AMAN Kutai Barat, Jaringan Monitoring Tambang Sumatera Utara