Meski pembahasan revisi undang-undang pertambangan mineral dan batubara (Minerba) No 4 Tahun 2009 ditunda oleh DPR RI Periode 2014-2019, bukan berarti ancaman terhadap rakyat dan lingkungan di seluruh pulau Indonesia menjadi terselamatkan. Sebaliknya, ancaman itu justru semakin parah, mengingat komposisi anggota DPR RI Periode 2019-2024 masih diisi oleh mayoritas anggota petahana (yang notabene mengusung dan mendukung RUU Minerba), dan “dari 675 anggota yang terpilih itu, sebanyak 262 orang berlatar belakang pengusaha” (Tempo, Edisi 2 Oktober 2019).

Dengan demikian, penolakan dan perlawanan terhadap rancangan uu ini masih berhadapan dengan elit politik yang sama, apalagi mayoritas pimpinan partai politik dari anggota DPR RI ini memiliki dan terhubung dengan sejumlah perusahaan tambang di berbagai daerah di Indonesia [baca: Oligarki Tambang di Balik Pilpres].

Lalu, mengapa RUU Pertambangan Mineral dan Batubara ini berbahaya?

Dalam draft RUU Minerba dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Pemerintah yang beredar, semangat RUU Minerba ini sangat eksploitatif, terus bergantung pada sumber energi kotor batubara. Bahkan, ada penambahan pasal baru untuk membuka peluang pembongkaran komoditas seperti mineral tanah jarang dan radioaktif yang melibatkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) [baca: Elit Politik dalam Pusaran Bisnis Batubara].

Dalam draft RUU Minerba ini pula terdapat kosa kata baru: Wilayah Hukum Pertambangan yakni seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan dan paparan benua.

Melalui RUU Minerba ini juga, pemerintah membuka ruang rente baru dalam bentuk Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB). Perusahaan, bahkan boleh menambang di sungai dengan luas maksimal menjadi lebih besar, yakni 100 hektar.

Sejumlah keistimewaan pun diberikan kepada korporasi tambang, dimana hak penguasaan lahan semakin diperpanjang yang berpotensi memunculkan masalah baru, land banking.

Selain itu, bagi perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dapat memperpanjang secara otomatis operasionalnya selama 2 x 10 tahun tanpa melalui penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang, dilanjutkan dengan pelelangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Perusahaan pemegang Izin usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pun dapat mengajukan permohonan wilayah penunjang pertambangan di luar konsesi perusahaan itu sendiri.

Selain korporasi yang diberikan karpet merah oleh DPR RI melalui draft RUU Pertambangan Mineral dan Batubara ini, para pejabat pembuat keputusan pun justru dilindungi dengan dihilangkannya Pasal 165 tentang pidana penjara dan denda bagi setiap orang yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang menyalahgunaan kekuasaan dan bertentangan dengan undang-undang.

Bagaimana nasib keselamatan rakyat dan lingkungan?

RUU Minerba ini, dengan sangat jelas mengancam masyarakat yang lahan-lahanya hendak dijadikan wilayah pertambangan, dimana tidak diberikan hak veto untuk menyatakan tidak dengan pertambangan.

Ancaman yang sama juga bagi masyarakat di daerah lingkar tambang yang dengan mudah dikriminalisasi dan dipidana, bahkan dalam RUU Minerba ini bisa dikenai pidana tambahan yakni perampasan barang dan membayar ganti rugi.

Kabar buruk lainnya, RUU Minerba ini membuka peluang lubang tambang boleh dijadikan irigasi dan pariwisata. Dan pada titik ini, kita jadi teringat pada debat pilpres yang lalu, dimana Jokowi secara terbuka bicara soal rencananya untuk menjadikan lubang tambang sebagai tempat  irigasi dan pariwisata. Dengan demikian, perusahaan berpotensi besar semakin leluasa untuk terhindar dari kewajiban merehabilitasi lubang-lubang tambang dengan dalih lubang-lubang beracun itu akan dimanfaatkan untuk irigasi dan pariwisata.

Lantas, untuk siapa RUU Minerba ini dibuat?

 

#BahayaRUUMinerba #ReformasiDikorupsi

Silahkan unduh Draft RUU Minerba dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)